Bismillah was shalatu was salamu ‘ala
rasulillah, wa ba’du
Islam sebagai agama rahmat
bagi semesta alam, sangat memperhatikan hak asasi manusia, sekalipun dia
seorang budak. Para sahabat yang pernah membantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik budak maupun orang
merdeka, semua merasa puas dengan sikap baik yang beliau berikan. Inilah potret
ideal yang bisa dijadikan contoh muamalah antara
majikan dengan pembantunya, antara pimpinan dengan pekerjanya.
Sebelumnya kita perlu
membedakan antara budak dengan pembantu atau buruh. Budak, jiwa dan raganya
milik majikannya, sehingga apapun yang dimiliki budak ini, menjadi milik
majikannya. Dia tidak bisa bebas melakukan apapun, kecuali atas izin si
majikan. Seratus persen berbeda dengan pembantu. Hubungan seorang pembantu
dengan majikan, tidak ubahnya seperti pekerja yang sedang melakukan tugas untuk
orang lain, dengan gaji sebagaimana yang disepakati. Muamalah antara pembantu dengan majikan adalah ijarah (sewa jasa). Sehingga seharusnya, beban tugas yang diberikan
dibatasi waktu dan kuantitas tugas. Lebih dari batas itu, bukan kewajiban
pembantu atau buruh.
Mohon maaf, di tulisan
ini kami menggunakan kata majikan dan pembantu atau buruh. Meskipun istilah ini
kurang bisa mewakili struktur tugas antara bawahan dengan atasan, namun kami
kesulitan untuk mendapatkan padanannya.
Ada beberapa hadis yang menunjukkan penghargaan Islam terhadap hak
masyarakat pekerja. Sebagian besar hadis itu konteksnya adalah berbicara
tentang budak. Sehingga kita bisa menyimpulkan, bahwa jika budak saja
diperlakukan sangat indah oleh Islam, tentu pembantu dan buruh yang bukan
budak, posisinya jauh lebih terhormat.
Hak Buruh
dalam Islam
Pertama, Islam memposisikan pembantu sebagaimana saudara majikannya. Dari Abu Dzar radhiallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ ، جَعَلَهُمُ اللهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ
“Saudara kalian adalah budak kalian. Allah jadikan mereka dibawah
kekuasaan kalian.” (HR. Bukhari no. 30)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut pembantu
sebagaimana saudara majikan agar derajat mereka setara dengan saudara.
Kedua, beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang memberikan beban tugas kepada pembantu melebihi
kemampuannya. Jikapun terpaksa itu harus dilakukan, beliau perintahkan agar
sang majikan turut membantunya.
Dalam hadis Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ
فَأَعِينُوهُمْ
“Janganlah kalian membebani mereka (budak), dan jika kalian
memberikan tugas kepada mereka, bantulah mereka.” (HR.
Bukhari no. 30)
Ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mewajibkan para majikan untuk memberikan gaji pegawainya
tepat waktu, tanpa dikurangi sedikit pun. Dari
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah upah pegawai (buruh), sebelum kering keringatnya.” (HR.
Ibn Majah dan dishahihkan al-Albani).
Keempat, Islam memberi peringatan keras kepada para majikan yang
menzalimi pembantunya atau pegawainya. Dalam
hadis qudsi dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam meriwayatkan, bahwa Allah berfirman:
ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ… وَرَجُلٌ
اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ
“Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: …
orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia
tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari 2114 dan Ibn
Majah 2442)
Bisa Anda bayangkan, di saat kita sangat butuh kepada ampunan
Allah, tetapi justru Allah menjadi musuhnya.
Kelima, Islam memotivasi para majikan agar meringankan beban pegawai dan
pembantunya. Dari Amr
bin Huwairits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَا خَفَّفْتَ عَنْ خَادِمِكَ مِنْ عَمَلِهِ كَانَ لَكَ أَجْرًا فِي
مَوَازِينِكَ
“Keringanan yang kamu berikan kepada budakmu, maka itu menjadi
pahala di timbangan amalmu.” (HR. Ibn Hibban dalam shahihnya dan sanadnya
dinyatakan shahih oleh Syuaib al-Arnauth).
Keenam, Islam
memotivasi agar para majikan dan atasan bersikap tawadhu yang berwibawa dengan
buruh dan pembantunya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا اسْتَكْبَرَ مَنْ أَكَلَ مَعَهُ خَادِمُهُ، وَرَكِبَ الْحِمَارَ
بِالأَسْوَاقِ، وَاعْتَقَلَ الشَّاةَ فَحَلَبَهَا
“Bukan orang yang sombong, majikan yang makan bersama budaknya, mau
mengendarai himar (kendaraan kelas bawah) di pasar, mau mengikat kambing dan
memerah susunya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad 568, Baihaqi dalam Syuabul Iman
7839 dan dihasankan al-Albani).
Ketujuh, Islam
menekan semaksiamal mungkin sikap kasar kepada bawahan. Seorang utusan Allah,
yang menguasai setengah dunia ketika itu, tidak pernah main tangan dengan
bawahannya. Aisyah menceritakan:
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلاَ امْرَأَةً
وَلاَ خَادِمًا…
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul
dengan tangannya sedikit pun, tidak kepada wanita, tidak pula budak.” (HR. Muslim 2328, Abu Daud 4786).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menjumpai
salah seorang sahabat yang memukul budak lelakinya.
Tepatnya ia sahabat Abu Mas’ud Al-Anshari. Seketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan sahabat
itu dari belakang:
اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ، لَلَّهُ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَيْهِ
“Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, Allah lebih kuasa untuk menghukummu
seperti itu, dari pada kemampuanmu untuk menghukumnya.”
Ketika Abu Mas’ud menoleh,
dia kaget karena ternyata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Spontan beliau langsung membebaskan budaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya:
أَمَا لَوْ لَمْ تَفْعَلْ لَلَفَحَتْكَ النَّارُ
“Andai engkau tidak melakukannya, niscaya neraka akan melahapmu.” (HR.
Muslim 1659, Abu Daud 5159, Tumudzi 1948 dan yang lainnya).
Bukan manusia yang pemberani ketika dia hanya bisa menzalimi
bawahannya. Bersikap keras kepada bawahan justru merupakan tanda bahwa dia
tidak berwibawa.
Potret Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pembantunya
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, adalah diantara daftar
pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Selama hampir 9 tahun lamanya, sejak di usia 10 tahun, beliau
melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Berikut testimoni sahabat Anas :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang
paling baik akhlaknya. Suatu hari (sewaktu aku masih kanak-kanak), beliau
menyuruhku untuk tugas tertentu. Aku bergumam: Aku tidak mau berangkat.
Sementara batinku meneriakkan untuk berangkat menunaikan perintah Nabi Allah.
Aku pun berangkat, sehingga melewati gerombolan anak-anak yang sedang bermain
di pasar. Aku pun bermain bersama mereka. Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tengkukku
dari belakang. Aku lihat beliau, dan beliau tertawa. Beliau bersabda: “Hai Anas, berangkatlah seperti yang aku perintahkan.” “Ya,
saya pergi sekarang ya Rasulullah.” Jawab Anas. Beliau memberi kesan:
وَاللهِ! لَقَدْ خَدَمْتُهُ سَبْعَ سِنِينَ أَوْ تِسْعَ سِنِينَ مَا
عَلِمْتُ قَالَ لِشَيْءٍ صَنَعْتُ: لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا. وَلاَ لِشَيْءٍ
تَرَكْتُ: هَلاَّ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا
Demi Allah, aku telah
melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam selama 7 atau 9 tahun. Saya belum pernah sekalipun beliau
berkomentar terhadap apa yang aku lakukan: “Mengapa kamu lakukan ini?”, tidak
juga beliau mengkritik: “Mengapa kamu tidak lakukan ini?” (HR. Muslim 2310 dan
Abu Daud 4773).
Dalam cuplikan sejarah beliau yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat perhatian
terhadap kebutuhan pembantunya. Bahkan sampai pada menyemangati untuk menikah.
Dari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami, beliau menceritakan:
Saya pernah menjadi pelayan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau menawarkan: “Wahai
Rabi’ah, kamu tidak menikah?” Aku jawab: “Tidak ya
Rasulullah, saya belum ingin menikah. Saya tidak punya dana yang cukup untuk
menanggung seorang istri, dan saya tidak ingin disibukkan dengan sesuatu yang
menghalangiku untuk melayani Anda.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berpaling
dariku. Setelah itu beliau bertanya lagi: “Wahai
Rabi’ah, kamu tidak menikah?” Aku pun menjawab dengan
jawaban yang sama: “Tidak ya Rasulullah, saya belum ingin menikah. Saya tidak
punya ….dst.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian berpaling dariku. Kemudian aku ralat ucapanku, aku
sampaikan: “Ya Rasulullah, Anda lebih
tahu tentang hal terbaik untukku di dunia dan akhirat.” Aku
bergumam dalam hatiku: “Jika beliau bertanya lagi, aku akan jawab: Ya.”
Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanya lagi untuk yang
ketiga kalinya: “Wahai Rabi’ah, kamu tidak
menikah?” Aku langsung menjawab: “Ya, perintahkan aku sesuai yang Anda
inginkan.” Selanjutnya, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mendatangi keluarga fulan, salah
seorang dari suku Anshar… (HR. Ahmad 16627, Hakim 2718 dan at-Thayalisi 1173).
Tidak hanya bersikap baik
dalam urusan dunia, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga memperhatikan urusan akhirat pembantunya. Beliau pernah
memiliki seorang pemabntu yang masih remaja beragama Yahudi. Suatu ketika si Yahudi ini
sakit keras. Nabi pun menjenguknya dan memperhatikannya. Ketika merasa telah
mendekati kematian, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjenguknya dan duduk di samping kepalanya. Beliau
ajak anak ini untuk masuk Islam. Si anak spontan melihat bapaknya, seolah
ingin meminta pendapatnya. Si bapak mengatakan: ‘Taati Abul Qosim (nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).’ Dia pun masuk Islam.
Setelah itu ruhnya keluar. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam meninggalkan rumahnya dengan mengucapkan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ
“Segala puji bagi Dzat Yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR.
Bukhari 1290).
Demikianlah, betapa
indahnya adab yang
diajarkan dalam Islam ketika bermuamalah dnegan pembantu. Sayangnya, banyak
kaum muslimin yang kurang memahami esensi ini,
sehingga mereka justru menutupi keindahan ajaran agamanya sendiri.
Disadur dari http://Islamstory.com, oleh Dr. Raghib
As-Sirjani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar