Bila ingin mereguk ilmu-ilmu agama dari mata airnya yang jernih, jangan sekali-kali meninggalkan para ulama….
Sejarah pernah mencatat munculnya sejumlah ulama terkemuka asal
Jakarta, atau Betawi dulunya. Mulai dari kebesaran nama Syaikh Junaid
Al-Batawi, dari sedikit tokoh ulama asal Indonesia yang berkesempatan
mengajar di majelis ilmu terhormat di Masjidil Haram. Setelah itu,
ketokohan Habib Utsman Bin Yahya, dengan pengaruh fatwanya yang
sedemikian luas, terutama lewat seratus kitab lebih hasil karyanya, yang
pengaruhnya terus terasa hingga hari ini. Juga kisah enam Tuan Guru
(Guru Marzuqi, Guru Mughni, Guru Manshur, Guru Majid, Guru Ramli, dan
Guru Khalid) para jago ilmu tanah Betawi tempo dulu yang hadir sebagai
simpul pengikat mata rantai keilmuan dari hampir setiap ulama Jakarta di
kemudian hari. Hingga munculnya sosok ulama besar dari bilangan Kwitang
yang menghabiskan usianya di jalan dakwah dan penyebaran ilmu-ilmu
agama, yaitu Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, pendiri Islamic Centre
of Indonesia.
Begitulah kota Jakarta. Sejak dahulu di saat rimbunnya pepohonan
masih menebar hawa sejuk keshalihan di seluruh penjuru kota ini hingga
sekarang tatkala keberkahan udara sejuk itu seakan tersapu oleh bubungan
asap polusi maksiat kota metropolitan, Jakarta hampir tak pernah sepi
melahirkan tokoh-tokoh ulama berbobot yang turut menghias indah sejarah
perjalanan syi’ar Islam di Nusantara.
Nama-nama ulama di atas tentunya hanya sebagian kecil dari begitu
banyaknya para ulama dan habaib Jakarta yang telah berhasil menorehkan
tinta emas dakwah di masa lalu. Kemunculan para tokoh ulama itu dari
waktu ke waktu, menjadi paku kota Jakarta, yang telah berperan sesuai
tantangan di zamannya masing-masing. Kehadiran mereka adalah pertanda
akan keberadaan gairah ilmu-ilmu agama yang cukup besar. Mereka sendiri
besar lewat gairah keilmuan itu, di tengah-tengah kultur pendidikan
agama kota Jakarta yang memang tidak banyak memunculkan pondok-pondok
pesantren seperti di daerah-daerah lainnya.
Gairah keilmuan itulah yang pada saat ini harus digelorakan kembali
keberadaannya. Pada sisi lain, pemandangan keberagamaan masyarakat kota
Jakarta saat ini cenderung memberi ruang yang lebih pada mereka yang
hanya pandai bermain kata di depan forum-forum diskusi atau di layar
kaca. Sebuah pemandangan yang mengundang rasa keprihatinan di sementara
pihak yang terus berharap agar gairah keilmuan yang pernah ada tidak
lantas tergerus oleh kecenderungan itu.
Di antara mereka, K.H. Saifuddin Amsir, seorang ulama asli Betawi,
termasuk yang sangat merasakan keprihatinan tersebut. Pada banyak
kesempatan ia sering kali mengingatkan, bila umat Islam ingin mereguk
ilmu-ilmu agama dari mata airnya yang jernih, jangan sekali-kali
meninggalkan para ulama, yang memiliki dasar ilmu yang dalam, dan mudah
terpesona oleh retorika sejumlah tokoh dengan sederet titel akademis
yang sesungguhnya rapuh dalam keilmuan.
Tak cukup menyimpan rasa prihatin yang mendalam dan berkepanjangan,
saat ini ia juga tengah menggarap berdirinya sebuah institusi yang
diharapkannya dapat menjadi salah satu pilar gerakan ilmiah dalam
menjaga tradisi keilmuan para ulama, sebagai kelanjutan dari dua puluhan
lebih majelis ilmu yang telah dirintisnya sejak masih usia belasan
tahun.
Bukan dari Kalangan Pesantren
K.H. Saifuddin Amsir bukan putra seorang ulama, dan tidak dibesarkan di lingkungan pesantren. Ia, yang lahir di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1955, tumbuh dan besar di sebuah keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya, Bapak Amsir Naiman, “hanya” seorang guru mengaji di kampung tempat tinggalnya, Kebon Manggis, Matraman. Sedangkan ibunya, Ibu Nur’ain, juga “hanya” seorang ibu rumah tangga yang secara penuh mengabdikan diri untuk mengurus keluarga.
K.H. Saifuddin Amsir bukan putra seorang ulama, dan tidak dibesarkan di lingkungan pesantren. Ia, yang lahir di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1955, tumbuh dan besar di sebuah keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya, Bapak Amsir Naiman, “hanya” seorang guru mengaji di kampung tempat tinggalnya, Kebon Manggis, Matraman. Sedangkan ibunya, Ibu Nur’ain, juga “hanya” seorang ibu rumah tangga yang secara penuh mengabdikan diri untuk mengurus keluarga.
Sejak kecil, putra kelima dari sepuluh bersaudara ini sudah diajari
sifat-sifat yang menjadi teladan bagi dirinya kelak di kemudian hari.
Dengan keras sang ayah mendidiknya untuk berperilaku lurus dan mandiri.
Tidak ada kompromi bagi suatu pelanggaran yang telah ditetapkan ayahnya.
Bersama sembilan orang saudaranya, ia dibiasakan untuk menunaikan
shalat secara berjamaah.
Keinginan kuatnya dalam menimba ilmu-ilmu agama sudah terpatri kuat
sedari kecil. Menyadari bahwa dirinya bukan berasal dari keluarga ulama
dan juga bukan dari kalangan yang berada, Saifuddin kecil menyiasatinya
untuk berusaha mandiri dan tidak bergantung kepada kedua orangtuanya. Ia
berusaha menutupi biaya kebutuhan pendidikannya sendiri, bahkan sejak
ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
Berkat ketekunannya dalam belajar, ia pun selalu mendapat beasiswa
dari pihak sekolah. Kegigihannya dalam terus mempelajari berbagai macam
ilmu secara otodidak maupun berguru pada ulama-ulama terkemuka di
masa-masa mudanya, telah menjadikannya sebagai salah seorang ulama
Jakarta yang cukup disegani saat ini.
Di waktu kecil, selain mengaji kepada kedua orangtuanya sendiri, ia juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Washliyah. Di sela-sela waktunya, ia mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak. Ia juga senang membaca berbagai macam bacaan sejak masih kecil. Sewaktu duduk di bangku tsanawiyah, ia mulai banyak berguru ke beberapa ulama di Jakarta.
Di antara ulama yang tercatat sebagai guru-gurunya adalah K.H.
Abdullah Syafi’i, Muallim Syafi’i Hadzami, Habib Abdullah bin Husein
Syami Al-Attas, dan Guru Hasan Murtoha. Kepada guru-gurunya tersebut, ia
mempelajari berbagai cabang ilmu-ilmu keislaman. Pada saat menimba ilmu
kepada Habib Abdullah Syami, di antara kitab yang ia khatamkan di
hadapan gurunya itu adalah kitab Minhajuth Thalibin (karya Imam Nawawi)
dan kitab Bughyatul Mustarsyidin (karya Habib Abdurrahman Al-Masyhur).
Di lain sisi, setelah pendidikan formalnya di jenjang pendidikan
dasar dan menengah usai ia lewati, ia menjadi mahasiswa di Fakultas
Syari’ah Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah (UIA) dan mendapat gelar
sarjana muda di sana. Kemudian ia merampungkan gelar sarjana lengkapnya
di Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, atau Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta saat
ini.
Dari waktu ke waktu dalam menempuh pendidikan formalnya itu, ia selalu menorehkan prestasi yang gemilang. Sewaktu lulus aliyah, ia tercatat sebagai lulusan aliyah dengan nilai terbaik se-Jakarta. Tahun 1982 ia mendaftarkan diri di Jurusan Akidah dan Filsafat IAIN saat jurusan itu baru dibuka oleh Rektor IAIN Prof. Dr. Harun Nasution, M.A. dalam sebuah program pendidikan yang saat itu dinamakannya sebagai Program Doktoral.
Karena berbagai prestasi yang telah dicapai sebelumnya, ia menjadi
satu-satunya mahasiswa yang diterima di IAIN tanpa melewati tes masuk
pada tahun itu. Dan setelah merampungkan masa kuliahnya, di waktu
kelulusan lagi-lagi ia tercatat sebagai lulusan IAIN terbaik.
Tidak Berminat pada Gelar
Kiprah kiai yang akrab dipanggil Buya ini dimulai sejak ia masih kecil dengan mengajar ngaji dan menjadi qari’ di beberapa mushalla dan masjid di sekitar daerah tempat tinggalnya. Beranjak remaja, ia mulai dikenal sebagai seorang muballigh.
Kiprah kiai yang akrab dipanggil Buya ini dimulai sejak ia masih kecil dengan mengajar ngaji dan menjadi qari’ di beberapa mushalla dan masjid di sekitar daerah tempat tinggalnya. Beranjak remaja, ia mulai dikenal sebagai seorang muballigh.
Pada mulanya, ia sendiri tidak terlalu berminat menjadi seorang
penceramah. Ia lebih menyukai mengajar dan menjadi qari’. Karena desakan
rekan-rekannya yang mengetahui potensi dirinya dalam berdakwah, ia pun
mulai bersedia berdiri di atas mimbar-mimbar ceramah, di samping
aktivitas mengajar di belasan majelis ta’lim rutin yang masih diasuhnya
hingga saat ini.
Kiprahnya dalam bidang pendidikan formal dimulai saat ia menjadi guru
di Yayasan Pendidikan Asy-Syafiiyyah, pimpinan K.H. Abdullah Syafi’i,
tempat ia mulai menimba ilmu-ilmu secara lebih intensif. Selain menjadi
guru sejak tahun 1976 di Asy-Syafi’iyyah, ia juga menjadi dosen pada
universitas yang ada di yayasan tersebut. Pada tahun 1980, saat ia baru
menginjak usia 25 tahun, ia dipercaya menjadi kepala sekolah Madrasah
Aliyah (MA) Al-Ikhsan, Condet, Jakarta Timur.
Sejak tahun 1986 hingga sekarang, ia bertugas sebagai dosen di
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Di almamater tempat ia sempat menimba ilmu selama beberapa
tahun ini, kapasitas keilmuannya membuatnya pernah tercatat mengajar
hingga 17 mata kuliah berbeda di sepuluh tahun pertama ia mengajar di
sana. Saat itu sistem kepengajaran belum “setertib” sebagaimana
sekarang, hingga ia pernah mengajar mata kuliah Ilmu Hadits, Tafsir,
Manthiq, hingga mata kuliah Filsafat Barat.
Aktivitas akademisnya ini juga dilengkapi dengan tugas dari
instansinya untuk membimbing para mahasiswa dalam melakukan dialog
dengan tokoh-tokoh lintas agama dan aliran kepercayaan. Pada tahun 1990
ia mendapat tawaran dari Universitas Nasional untuk menggantikan posisi
Dr. Nurcholis Madjid, yang saat itu sedang tidak ada di Indonesia, dalam
menulis di jurnal filsafat berskala internasional. Karena beberapa
pertimbangan, ia memilih untuk tidak mengambil tawaran itu.
Bila memperhatikan perjalanan hidupnya jauh sebelum ini, ternyata ia
juga seorang yang memiliki kepedulian yang kuat dan visi yang jauh
terhadap berbagai isu yang berkembang di tengah masyarakat. Di era tahun
1990-an, ia menjadi juru bicara Forum Silaturrahmi Ulama dan Habaib
saat menuntut pembubaran SDSB sewaktu berdialog dengan para anggota DPR
kala itu.
Saat tuntutan reformasi bergejolak kuat di tahun 1998, ia juga pernah
didaulat untuk turut berorasi di kampus UI Depok mewakili komponen
masyarakat dan ulama sehubungan dengan tertembak matinya beberapa
mahasiswa Trisakti. Pada tahun yang sama, ia berada pada barisan
terdepan sebagai deklarator yang menolak minat beberapa LSM untuk
membentuk Kabinet Presidium, yang dianggapnya dapat menuntuhkan negara.
K.H. Saifuddin Amsir juga aktif sebagai narasumber pada banyak
seminar dan diskusi ilmiah berskala nasional dan internasional, serta
pada rubrik-rubrik keagamaan di stasiun-stasiun televisi, radio, dan
media cetak. Selain di UIN, ia juga menerima amanah tugas yang tidak
sedikit di beberapa institusi lainnya. Di antaranya, ia ditunjuk sebagai
direktur Ma’had Al-Arba’in, staf ahli Rektor Universitas Islam
Asy-Syafi’iyyah, dan menjadi anggota Dewan Pakar Masjid Agung Sunda
Kelapa, Jakarta Pusat. Pada tahun 2004, ia ditunjuk menjadi salah
seorang rais Syuriah PBNU.
Di sela-sela berbagai kesibukannya itu, saat ini ia juga masih
tercatat sebagai ketua umum Masjid Jami’ Matraman. Namun, setelah sekian
lama ia melazimi majelisnya para ulama besar Jakarta serta menggeluti
kitab-kitab padat ilmu karya para ulama klasik dan kemudian ia
bandingkan dengan kadar keilmuan yang ada di strata kesarjanaan
selanjutnya, ia menjadi tidak tertarik untuk melanjutkan pendidikan
formalnya ke jenjang yang lebih tinggi. Sudah sejak lama ia tidak
berminat pada atribut-atribut akademis dan gelar titel kesarjanaan yang
menurutnya telah banyak dinodai oleh sementara orang yang menjadikan itu
hanya sebagai aksesori penambah prestise atau bahkan menjadi komoditas
pendukung untuk mencari keuntungan-keuntungan pribadi.
Pola pandangnya yang seperti ini membuatnya lebih menghargai khazanah
ilmu yang beredar di majelis-majelis ilmu para ulama ketimbang
menyisihkan waktu lagi untuk meraih gelar pascasarjana.
Ketokohan K.H. Saifuddin Amsir memang ketokohan yang berbasiskan keilmuan, bukan karena gelar yang disandangnya. Namanya semakin dikenal orang karena keluasan ilmunya yang diakui banyak pihak. Karakteknya yang low profile menjadi bukti bahwa popularitasnya saat ini tidak dibangun lewat sebuah proses karbitan yang direkayasa, tapi bentuk pengakuan publik yang mengapresiasi kedalaman ilmunya.
Ketokohan K.H. Saifuddin Amsir memang ketokohan yang berbasiskan keilmuan, bukan karena gelar yang disandangnya. Namanya semakin dikenal orang karena keluasan ilmunya yang diakui banyak pihak. Karakteknya yang low profile menjadi bukti bahwa popularitasnya saat ini tidak dibangun lewat sebuah proses karbitan yang direkayasa, tapi bentuk pengakuan publik yang mengapresiasi kedalaman ilmunya.
Betawi Corner
Di samping itu, ia juga merasa prihatin atas orientasi pemahaman keagamaan umat Islam zaman sekarang yang tak lagi menolehkan pandangan kepada khazanah ilmu peninggalan para ulamanya sendiri. Mereka kemudian lebih tertarik pada pembahasan-pembahasan Islam sekuler dan sebagainya, yang sebenarnya rapuh dasar keilmuannya.
Di samping itu, ia juga merasa prihatin atas orientasi pemahaman keagamaan umat Islam zaman sekarang yang tak lagi menolehkan pandangan kepada khazanah ilmu peninggalan para ulamanya sendiri. Mereka kemudian lebih tertarik pada pembahasan-pembahasan Islam sekuler dan sebagainya, yang sebenarnya rapuh dasar keilmuannya.
Padahal dulu, para cendekiawan Prancis yang dikumpulkan oleh Napoleon
Bonaparte untuk mempelajari kitab-kitab karya para ulama setelah ia
merampasnya dari perpustakaan-perpustakaan muslimin saat itu, misalnya,
sedemikian terkagum-kagum terhadap ilmu historiografi dalam tradisi
keilmuan masyarakat muslim.
Saat menelaahnya, mereka terinspirasi dengan ilmu hadits dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang sangat memperhatikan sanad dan sedemikian ketat memperhatikan berbagai rujukan sebagai pertanda betapa masyarakat Islam sangat menghargai ilmu dan sejarahnya. Bukan cuma terinspirasi, bahkan mereka kemudian juga menjadikan karya-karya itu sebagai rujukan penting bagi mereka. Saat itu, dunia Barat merasa sangat berkepentingan untuk mempelajari khazanah ilmu kaum muslimin, yang di kemudian hari menjadi akar pencerahan bagi peradaban keilmuan mereka.
Dalam berbagai majelisnya, ia tak pernah bosan mengingatkan umat
untuk memperhatikan masalah tersebut. Karena itu, dengan dukungan dari
berbagai pihak, terutama dari pihak Jakarta Islamic Centre, saat ini ia
tengah merintis berdirinya suatu lembaga pengkajian yang memagari
kemodernan cara berpikir dengan kemurnian ilmu agama yang jernih.
Lembaga dengan karakteristik bernuansa Betawi itu ia namakan Betawi
Corner.
Di samping sebagai tempat untuk mengkaji khazanah kebudayaan dan
ilmu-ilmu keislaman dan meng-counter pemikiran-pemikiran dan pemahaman
keagamaan yang destruktif, Betawi Corner juga dimaksudkannya sebagai
tempat berdiskusi dan bermusyawarah bagi para ulama dan masyarakat
Betawi.
Menjauhi Yang Syubhat
Di dalam keluarga, K.H. Saifuddin Amsir adalah sosok seorang ayah yang sederhana, demokratis, sabar, tapi tegas dalam hal mendidik anak. Ayah empat orang putri ini adalah seorang yang sangat mengutamakan keluarga dan sangat memperhatikan sisi pendidikan anak-anaknya. Ia menyadari, ilmu pengetahuan adalah warisan terbaik kepada anak-anaknya kelak.
Di dalam keluarga, K.H. Saifuddin Amsir adalah sosok seorang ayah yang sederhana, demokratis, sabar, tapi tegas dalam hal mendidik anak. Ayah empat orang putri ini adalah seorang yang sangat mengutamakan keluarga dan sangat memperhatikan sisi pendidikan anak-anaknya. Ia menyadari, ilmu pengetahuan adalah warisan terbaik kepada anak-anaknya kelak.
Pendidikan dalam keluarganya dimulai dengan menerapkan aturan-aturan
yang harus ditaati segenap anggota keluarga, dengan bersandar pada pola
hidup yang diterapkan Rasullullah SAW. Pola hidup yang dimaksud adalah
pola hidup sederhana dan menjauhi hal-hal yang syubhat.
Menurut Hj. Siti Mas’udah, istrinya, K.H. Saifuddin Amsir adalah ayah sekaligus guru dan sahabat bagi istri dan putri-putrinya. Ia senantiasa menekankan pentingnya agama dan ilmu kepada anak sejak mereka masih kecil. Shalat berjamaah adalah suatu keharusan dalam keluarga ini.
Dalam hal makanan, ia tidak memperkenankan anggota keluarganya
mengonsumsi makanan-makanan yang belum terjamin kehalalannya, seperti
makanan-makanan produk luar negeri. Sejak dari usia bayi, mereka juga
sudah dijauhkan dari makanan-makanan yang belum terjamin kesehatannya,
seperti makanan-makanan yang banyak menggunakan bahan pengawet, makanan
siap saji, atau makanan yang menggunakan bahan-bahan penyedap.
Setali tiga uang, istrinya, yang akrab disapa Umi, juga tidak kurang
perannya dalam membentuk citra kebersahajaan dan kemandirian dalam
keluarga. Di samping menangani segala urusan rumah tangga, mulai dari
memasak, mencuci, bahkan menjahit, ia juga masih menyempatkan diri aktif
pada bidang-bidang sosial keagamaan dan mengajar di sejumlah majelis
ta’lim.
Dengan menerapkan pola pembinaan dan pendidikan keluarga yang demikian, ia telah berhasil menjadikan putri-putrinya sebagai insan-insan pecinta ilmu agama dan pengetahuan. Banyak sudah yang telah diraih keempat putrinya itu. Mengikuti jejak sang ayah, mereka selalu mendapatkan beasiswa dan menjadi lulusan terbaik di almamaternya. Bahkan si bungsu, Rabi’ah Al-Adawiyah, misalnya, sejak berusia 12 tahun sudah hafal tiga puluh juz Al-Quran dengan baik. IY
http://majalah-alkisah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar