BERBICARA
tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar
Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan
Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas
yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan
maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah
tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif
Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.
Sampai saat
ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan
peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya
disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam
catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan
(Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber
sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari
dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam
proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).
Selain faktor
yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan
munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti
kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan
orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang
dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi
seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba
merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.
Dengan
berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba
mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga
tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan
tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah
kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu
diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti
tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.
Sumber-sumber
Sejarah
SEBENARNYA
banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran
Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada
sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat
di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun
temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali”
atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan
lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang
belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut
berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum
Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten,
seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat
dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah
Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.
Sumber lainnya
yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di
tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka,
maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali
dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti
Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak
(Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh
Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan
naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau
dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh,
tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan
tangan.
Tokoh Cakrabuana
BERDASARKAN
sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif
Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di
seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu
Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara
Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat.
Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif
Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif
Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik
Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Cakrabuana
(atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak
Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang
puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya
terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar
Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah
Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh
Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala.
Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak
ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.
Sebelum menjadi
isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan
menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera
Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian
dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang)
bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari
dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi
nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura.
Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.
Pondok Quro
yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan
Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok
pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah
Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh
Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang
mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.
Sepeninggal
Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan
oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe
Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh
Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus
Suherman, 1995:13-14).
Dengan latar
belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang
pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki
niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan
keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan
istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana
(Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya,
Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di
Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak
mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya
meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana
mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu
Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara
Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada
Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).
Selain berguru
agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan
baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu
dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan
dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman
baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil
dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang,
udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian
penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan
terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng
Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar
Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah
beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah
menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447
M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182
laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16
orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3
orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk
pesisir Cirebon ini adalah Islam.
Untuk
kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana
(Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan
sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya
air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar
Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih
terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah
tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna
historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di
pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah
suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran
Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang
penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara
geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.
Dalam pertemuan
itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas
Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana
mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar
Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh
Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang
menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf
kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya
ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan
Maliki.
Selang beberapa
waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu
yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di
Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran
Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan
kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman
pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana
membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut
diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti
berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan
Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara
Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara
Gheng Pakungwati Cirebon.
Mendengar
berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata
(atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya
untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara
Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari
Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan
kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan
untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak
anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil
bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses
menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau
Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak
Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari
Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan
makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung
Jati.
Tokoh Kian
Santang
SEBAGAIMANA
halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang
dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia
persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan,
sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam
tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung.
Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam
di tatar Sunda bagian pedalaman.
Sampai saat ini
terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang
ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa
sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan.
Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta
terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan
teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian
lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan,
maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di
Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng
Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas
sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta,
seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.
Sampai saat ini
terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang
sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber
itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun
menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S.
Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan
dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan
gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat
yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca
kalimat Syahadat.
Di dalam cerita
lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran
yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai
nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang
mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak
pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang
diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut
raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran
runtuh.
Dari cerita
rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh
Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan.
Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika
kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai
dengan data arkeologi dan sumber data yang lainnya seperti Babad tanah Cirebon
dan lainnya.
Adapun mengenai
pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu
Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru)
tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit
dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan
berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam
realitas sejarah manusia Sunda.
Sejalan dengan
cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang
sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi
sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini
didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di
balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk
(distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu
kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.
Dalam sejarah
Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke
Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama
Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan
bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11
orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti
(Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu
Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 )
Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.
Dari seluruh
cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah
seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan
seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan
dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa
pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang
masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan
Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu
Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata
menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura
Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari
Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang,
salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari
Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.
Berdasarkan
uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang
penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan
menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak
dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran.
Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika
bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan
menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied.
Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda
(khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil
di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan
para pedagang Arab dan India.
Mula-mula Kian
Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak
di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah
(1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan
cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu
Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian
Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar
dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat
Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi
kerajaan terakhir Pajajaran.
Para petinggi
dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang
di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang
makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong,
Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya
(ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan
ada di Tasikmalaya.
Melalui
raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan.
Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi
berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di
Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang,
Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan
para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang
dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).
Tokoh Syarif
Hidayatullah
SEPERTI telah
diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas
Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah,
seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah
putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu
Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar,
yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus
Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar
merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa
Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa
(wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif
Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan
Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.
Syarif
Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di
antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh
Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam,
masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya,
ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya
(Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan
Islam Pakungwati.
Selama di
perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah
menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat
India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu.
Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya.
Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah
Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal
selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid
Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali
Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya
menyebarkan Islam di sana.
Sesampainya di
Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh
Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah
kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah
kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena
itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di
Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di
Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon.
Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah
selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah,
kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak
di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih
merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya
Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan
bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan
mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa
Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti
namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).
Pada tahun
1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan
Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah
sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah,
Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat
Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri
dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata
dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan
Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata
mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan
bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi
pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah
biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.
Pada tanggal 13
Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan
Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang
dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada
bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa
inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang
naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang
kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara
Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih
berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah
diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari
Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang
Eropa.
Perjanjian
kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi
kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono
dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk
sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam
kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat
menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis
datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara
Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur
oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.
Banyak nama
yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta,
Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir
terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan
Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain
menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti
Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka
(Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka
Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu.
Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M,
maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di
Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran
Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan
Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di
tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran
Pasarean.
Ketika
Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa)
diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran
Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon
dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena
ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya,
Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian
digantikan oleh Panembahan Ratu.
Khatimah
DEMIKIANLAH
sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian
Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah
Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan
Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan
temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian
selanjutnya.
Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara
Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki
Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan
pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.
Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan
Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh
lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia
mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah
penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif
Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari
Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).
Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang
berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha
menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.
Daftar Pustaka
- Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
- Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
- _________. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
- Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
- Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
- Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat.
- Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung: Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar