BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Masyarakat
 di semua bangsa, menempatkan anak-anak sebagai tumpuan harapan bagi 
masa depan. Sekolah merupakan institusi pembelajaran dimana anak-anak 
akan diperkenalkan dengan nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama, 
pengetahuan-pengetahuan tradisional-modern, tanpa terkecuali 
pengetahuan-pengetahuan tentang masalah kebencanaan.
Di
 beberapa negara seperti Meksiko, Rumania, dan Selandia Baru, pengenalan
 tentang bencana diintegrasikan ke dalam materi-materi pelajaran. 
Demikian juga di Brasil, Venezuela, Kuba dan Jepang, dimana pengenalan 
tentang bencana dan risiko-risikonya sudah dilakukan sejak di sekolah 
dasar. Dengan bekal pengetahuan tentang bencana dan risikonya anak-anak 
di semua tingkat pendidikan memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi 
bencana.
Sekolah
 (sebagai lembaga pendidikan), memiliki amanat untuk mengembangkannya 
secara integratif dan tidak terbatasi oleh nilai-nilai yang terkandung 
dalam mata pelajaran saja; melainkan lebih dari itu adalah sebagai 
esensi-esensi nilai budaya/kebudayaan secara utuh yang berakar di 
masyarakat. Budaya/kebudayaan harus diterapkan dalam konteks yang lebih 
luas untuk pengembangan akal budi dan sikap perilaku manusia lewat 
pembelajaran. Sekolah yang sengaja dilembagakan dan diperan-fungsikan 
untuk mengembang kan potensi anak didiknya sebagai individu yang datang 
dari keluarga dan lingkungan masyarakat (baca: yang telah memiliki 
aspek-aspek kehidupan dan perilaku serta kesadaran untuk secara bersama 
dalam satu budaya, yakni sikap, nilai moral, keyakinan, dsb.), maka 
sekolah memiliki multiperan, yakni : berperan sebagai subtitusi keluarga
 dan orang tua, subtitusi masyarakat juga subtitusi bangsa dan 
pemerintah. 
Mari kita “memutar mundur” (flashback),
 Masihkah ingat “Wawasan Wiyata Mandala” ?. Konsep ini memang lebih 
ditujukan kepada satuan pendidikan jenjang sekolah dasar, namun secara 
filosofis konsep “Wawasan Wiyata Mandala” memiliki relevansi untuk 
digunakan pada jenajng yang lebih tinggi ataupun pendidikan usia dini. 
Konsep ini dibangun untuk menjadikan sekolah sebagai pusat kebudayaan, 
sekolah tidak hanya memprogramkan, mengajarkan, mengarahkan, mebimbing, 
serta mengembangkan kemampuan intelektual, tetapi lebih dari itu; yakni 
pengembangan seluruh aspek dan potensi pribadi anak, sehingga anak tidak
 menjadi kering. 
Menyikapi persoalan ini, kembali H.A.R. Tilaar, 
mengungkapkan: “Pada masa Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan konsep
 Wawasan Wiyata Mandala. Di dalam konsep tersebut sekolah dianggap 
sebagai suatu pusat kebudayaan. Artinya program pendidikan di sekolah 
bukan hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi juga pengembangan
 seluruh aspek kepribadian anak. Demikian pula sekolah tidak terasing 
dari kehidupan masyarakatnya tetapi merupakan bagian yang tak 
terpisahkan dari masyarakat. 
Banyak
 kasus yang terjadi di sekolah; seperti kekerasan fissik maupun 
psikologis yang dilakukan oleh guru kepada siswanya, kasus siswa 
melakukan kekerasan terhadap guru, kausus kekerasan antar siswa baik 
fisik maupun nirfisik, dan atau tidak harmonisnya hubungan antar sejawat
 serta hubungan atas-bawah (pimpinan sekolah dengan guru atau tenaga 
kependidikan lainnya). Kasus lainnya adalah menurunnya rasa saling 
hormat, menghargai, santun baik antara siswa sebaya maupun terhadap 
kakak kelasnya, terhadap guru dan anggota komunitas sekolah lainnya 
serta implikasinya terhadap anggota keluarga dan warga masyarakat, 
bangsa dan lingkungannya. Apa yang kiranya harus dilakukan dan ditata 
ulang manakala kasus-kasus tersebut benar adanya dan bahkan mungkin 
lebih dari itu, sebab ini menjadi sebuah gambaran bahwa betapa rawannya 
ketahan sekolah (kalupun ini berangkat secara kasuitis). Adalah suatu 
keniscayaan manakala tata kehidupan sosial di sekolah tidak mulai dikaji
 ulang dan ditata ulang; yang salahsatunya melalui pengembangan tata 
krama sebagai upaya membangun ketahan sekolah. 
B.   Sekolah Sebagai Representasi Pembentukan Moral
Sekolah,
 dikembangkan dengan filosofi, visi, misi, strategi; sehingga menjelma 
sebagai sosok yang dapat dipercaya untuk membantu anak-anak bangsa ini 
tumbuhkembang sesuai potensi dirinya dan sesuai dengan harapan 
orangtua/keluarga, harapan dirinya, harapan masyarakat dan harapan 
bangsa dan negara. Oleh karena itulah maka mengembangkan sekolah harus 
berbasis kepada pandangan hidup yang dijunjung, berbasis spiritualitas, 
berbasis kemasyarakatan, berbasis kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi 
dan seni, berbasis perkembangan anak, serta berbasis pada tata aturan 
dan kaidah-kaidah pendidikan (paedagogik maupun andragogik). Ketika 
sejumlah harapan tersebut harus tercapai, artinya harus dilakukan upaya 
pengkajian dan sinergitas, kolegialitas, sehingga sekolah akan menjadi 
kuat mengusung tugas fungsi dan perannya. 
Dengan demikian sebenarnya model pendidikan yang dianjurkan dewasa ini, pendidikan dari dan oleh masyarakat (Community-base education) sebenarnya
 telah terangkum dengan wawasan Wiyata Mandala. Sayang sekali 
pelaksanaan konsep ini hanya terbatas pada tingkat konseptual saja. …. 
Jiwa dari Wawasan Wiyata Mandala mati di tengah jalan. Akibatnya ialah 
pendidikan terasing dari masyarakat, dan selanjutnya pendidikan terlepas
 dari kebudayaan” (2000 : 222).
A.
 Malik Fajar, sebagai Mendiknas pada saat itu (2004), mengingatkan pada 
awal pidato Pencananngan Gerakan Anti Narkoba di Sekolah : “Tidak bisa 
dipungkiri lagi bahwa suatu bangsa dan negara yang kuat sangat 
tergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Hanya generasi yang 
aktif, kreatif, cerdas, memiliki kepribadian, berakhlak mulia dan 
memiliki keimanan yang kuat yang mampu menangkal segala pengaruh negatif
 yang datang dari manapun”. 
Dan lebih lanjut beliau mengingatkan : “… 
kita khususnya para kepala sekolah dan guru serta kalangan pendidik 
menyadari akan fungsi lembaga pendidikan. … Lembaga pendidikan memiliki 
peran strategis dalam mengarahkan dan menciptakan iklim yang kondusif 
untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan bagi terbentuknya manusia 
Indonesia yang berakhlak mulia dan berkepribadian yang tangguh” 
(Jakarta, 2 Agustus 2004). Artinya, sekolah menjadi “refresentasi” untuk
 membangun ketahanan dan pengembangan budaya (baca: manakala kita 
bersepakat) bahwa budaya seperti yang diurai para pakar di atas dan 
ditegaskan oleh pengambil kebijakan di akhir bahasan. Persoalannya 
adalah, bagaimana sekolah dibijaki oleh sebuah piranti yang dapat 
dikembangkan secara operasional. 
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Penggunaan Sekolah
Pemahaman
 dasar dan tentunya sangat mendasar dari masyarakat (awam/pada umumnya),
 bahwa sekolah selain membekali kompetensi akademik (pintar), adalah 
mendidik, membelajarkan anak-anak bangsa ini untuk memiliki norma dan 
tata nilai sesuai dengan tata laku lingkungannya, budaya bangsa dan 
agamanya. Oleh karena itu sekolah berkewajiban untuk mengembangkan 
bentuk perwujudan perilaku (manifested behaviour) yang sesuai dengan norma dan tata nilai, selain yang hanya dapat dipersepsikan (perceived behaviour). Artinya sekolah sebagai lembaga yang memiliki komunitas dan berwujud sebagai masyarakat berbentuk kecil (small community)
 dipandang penting untuk mengembangkan tata krama dan/atau tata laku 
dalam kehidupan sekolah dan dilakukan secara nyata dalam kehidupan 
sehari-hari di sekolah; sehingga dapat berdampak terhadap kehidupan 
anak-anak di dalam keluarga (rumah), masyarakat, dan kehidupan berbangsa
 dan bernegara.
Departemen
 Pendidikan Nasional (2001), Manajemen Peningkatan Mutu berbasis Sekolah
 Buku 4 mengenai Tatakrama dan Tata tertib Kehidupan Sosial sekolah bagi
 SLTP, mengungkapkan pada latar belakangnya bahwa : ”Dunia pendidikan 
kita dewasa ini menghadapi berbagai masalah yang amat kompleks yang 
perlu mendapatkan perhatian kita semua. Salah satu masalah tersebut 
adalah menurunnya tatakrama kehidupansosial dan etika moral dalam 
praktik kehidupan sekolah yang mengakibatkan sejumlah ekses negatif yang
 amat merisaukan masyarakat. Ekses tersebut antara lain semakin maraknya
 penyimpangan berbagai norma kehidupan agama dan sosial kemasyarakatan 
yang terwujud dalam bentuk : kurang hormat terhadap guru dan pegawai 
sekolah, kurang disiplin terhadap waktu dan tidak mengindahkan 
peraturan, kurang memelihara keindahan dan kebersihan lingkungan, 
perkelahian antar pelajar, penggunaan obat terlarang dan lain-lainnya”. 
Hal ini adalah ancaman dan tidak dapat dibiarkan dan tentunya harus 
segera diatasi agar tidak terus mengancam anak-anak bangsa dan tatanan 
sosial, agama, negara dan bangsa. Sekolah adalah garda ketahanan nilai 
moral, sopan santun, aturan dan kaidah yang dapat memberikan sumbangan 
terhadap ketahan diri anak, ketahanan keluarga, masyarakat, dan bangsa 
ini. Oleh karena itu mengembangkan tatakrama dan tata laku kehidupan 
sosial sekolah menjadi penting. 
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang diperuntukan sebagai tempat proses kegiatan belajar mengajar, tidak diperbolehkan dijadikan sebagai tempat : 
- Ajang promosi /penjualan produk-produk perniagaan yang tidak berhubungan dengan pendidikan.
 - Sekolah merupakan lingkungan bebas rokok bagi semua pihak.
 - Penyebaran aliran sesat atau penyebarluasan aliran agama tertentu yang bertentangan dengan undang-undang.
 - Propaganda politik/kampanye.
 - Shooting film dan atau sinetron tanpa seijin Pemerintah Daerah.
 - Kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan, perpecahan, dan perselisihan, sehingga menjadikan suasana sekolah tidak kondusif.
 
B.   Penataan Wiyata Mandala dalam Upaya Ketahanan Sekolah 
- Ketahanan sekolah lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang bersifat preventif. Upaya represif dilakukan apabila upaya-upaya lain sekolah tidak memungkinkan.
 - Untuk menjadikan sekolah sesuai dengan tujuan dan fungsinya, perlu dilakukan penataan Wiyata Mandala di sekolah melalui langkah-langkah :
 
- Meningkatkan koordinasi dan konsolidasai sesama warga sekolah untuk dapat mencegah sedini mungkin adanya kegiatan dan tindakan yang dapat mengganggu proses belajar mengajar.
 - Melaksanakan tata tertib sekolah secara konsisten dan berkelanjutan.
 - Melakukan koordinasi dengan Komite sekolah dan pihak keamanan setempat untuk terselenggaranya ketahanan sekolah.
 - Mengadakan penyuluhan bagi orangtua dan siswa yang bermasalah
 - Mengadakan penyuluhan dan pembinanan kesadaran hukum bagi siswa.
 - Pembinaan dan pengembangan keimanan, ketaqwaan, etika bermoral Pancasila, kepribadian sopan santun dan berdisiplin.
 - Pengembangan logika para siswa, rajin belajar, gairah menulis, gemar membaca/ informasi/penemuan para ahli.
 - Mengikutsertakan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler dan pengembangan diri.
 - Mengadakan karya wisata dalam rangka pengembangan iptek.
 
C.   Tugas, Wewenang Dan Tanggungjawab Kepala Sekolah dalam Hal Pelaksanaan Wiyata Mandala
Kepala
 Sekolah sebagai pimpinan utama, bertugas dan bertanggung jawab memimpin
 penyelenggaraan belajar mengajar serta membina pendidik dan tenaga 
kependidikan serta membina hubungan kerja sama dan peran serta 
masyarakat.
Kepala Sekolah dalam melaksanakan penataan Wiyata Mandala di sekolah, dengan melakukan kegiatan-kegiatan : 
- Melaksanakan program-program yang telah disusun bersama Komite Sekolah.
 - Menyelenggarakan musyawarah sekolah yang melibatkan pendidik, OSIS, Komite Sekolah, tokoh masyarakat serta pihak keamanan setempat.
 - Menertibkan lingkungan sekolah baik yang berbentuk perangkat keras (sarana prasarana) dan perangkat lunak (peraturan-peraturan, tata tertib, tata upacara dan lain lain).
 - Mengadakan pertemuan baik rutin maupun insidentil yang bersifat intern sekolah (kepala sekolah, pendidik, orangtua siswa, siswa).
 - Menyelenggarakan kegiatan yang dapat menunjang ketahanan sekolah seperti PKS, Pramuka, PMR, Paskibraka, kesenian dan sebagainya.
 
D.   Mekanisme Pelaksanaan Wiyata Mandala dalam Rangka Ketahanan Sekolah Oleh Guru dan Unsur Sekolah
Dalam
 rangka pelaksanaan Wiyata Mandala perlu upaya  penang-gulangan secara 
dini setiap permasalahan yang timbul sehingga dapat menghilangkan dampak
 negatifnya, yaitu dilaksanakan secara terpadu, bertahap dan berlanjut 
sebagai berikut :
- Tahap Preventif
 
Upaya untuk meniadakan peluang-peluang yang dapat memungkinkan terjadinya kasus-kasus negatif di sekolah, melalui antara lain : 
- Memelihara sekolah, dan lingkungan sekolah serta menciptakan kebersihan dan ketertiban agar siswa merasa nyaman dan menyenangkan dan tidak ada tempat tertentu yang dijadikan siswa untuk hal-hal negatif.
 - Menciptakan suasana yang harmonis antara pihak pendidik/staf dan siswa serta penduduk di sekitar sekolah.
 - Membentuk jaring-jaring pengawasan/kontrol dan razia terhadap kegiatan siswa di lingkungan sekolah.
 - Menghilangkan bentuk-bentuk perpeloncoan pada saat MOS.
 - Meminimalisir keterlibatan kelompok maupun perorangan dalam kegiatan sekolah.
 - Mengisi jam-jam kosong dengan pelajaran atau kegiatan ekstra lainnya.
 - Meningkatkan kegiatan ekstra kurikuler pada masa awal/akhir semester dan masa liburan sekolah.
 - Peningkatan keamanan dan ketertiban khususnya pada saat berangkat/ usai sekolah.
 
- Tahap Represif
 
Upaya untuk menindak siswa yang  telah melanggar peraturan-peraturan dan tata tertib sekolah. 
Upaya Represif seperti : 
- Mendamaikan para pihak yang terlibat perselisihan berikut orangtua/pendidik pembinanya.
 - Membatasi areal tempat terjadinya aksi.
 - Menetralisir isu-isu yang berkembang dan mencegah timbulnya isu-isu baru.
 - Berkoordinasi dengan pihak keamanan apabila terdapat pihak luar sekolah yang melanggar keamanan, ketertiban dan perbuatan kriminalitas di lingkungan sekolah.
 - Mengungkap lebih lanjut keterlibatan pihak luar sekolah atas kasus yang timbul dan menyelesaikan secara hukum.
 - Mengikutsertakan para ahli untuk mengadakan bimbingan dan penyuluhan.
 - Memberikan sanksi sesuai tata tertib yang berlaku.
 
E.   Pera Guru dalam Upaya Ketahanan Sekolah
Guru
 adalah setatus sosial yang disandang oleh seseorang yang dalam 
kesehariannya hidup dalam masyarakat yang tidak berbeda dengan yang 
dihadapi oleh masyarakat pada umumnya dan sasaran didik pada khussusnya;
 tidak mustahil menghadpi, mengalami dan menjalani tekanan-tekanan dalam
 komplesitas kehidupan di masyarakatnya dengan berbagai sebab yang 
melatarbelakanginya; dan bukan tidak mungkin berakibat dan menjadikan 
kekecewaan. Ketika itu terjadi, kekecewaan yang dialaminya akan 
berpotensi mempengaruhi suasana hati, sosioemosional dan kinerjanya.
Persoalan-persoalan
 ini kiranya sangat penting untuk dipahami oleh para pemangku 
kepentingan seperti Kepala Dinas Pendidikan (pada berbagai tingkatan), 
Pengurus Yayasan, Pembina Pendidikan (Pengawas, Supervisor), Kepala 
Sekolah, maupun Anggota Komite Sekolah, orangtua dan masyarakat 
untuk segera mengambil langkah strategis dan penuh kearifan melalui 
upaya-upaya yang diperkirakan dapat mencegah perilaku menyimpang serta 
berakibat patal dan merugikan semua pihak. Rapat sekolah selain menjadi 
agenda rutin membahas persoalan administrif dan akademik, kiranya dapat 
dijadikan ajang silaturrahim, komumnikasi, tausiyah, dan musabah seputar
 masalah anggota komunitas baik pribadi maupun yang menyangkut persoalan
 kinerja. Pertemuan sekolah seperti ini dapat dikembangkan dan dikemas 
menjadi forum ilmiah untuk membahas isu-isu actual, esensial, dan 
krusial bagi guru dan komunitas sekolah. Sebagai contoh, adalah isu 
kekerasan dalam pembelajaran dan/atau isu kekerasan di sekolah, seperti 
kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, siswa terhadap guru, 
kepala sekolah terhadap guru dan tenaga kependidikan, siswa terhadap 
siswa, tawuran siswa dengan siswa sekolah lain, serta bentuk-bentuk 
pelecehan lain). Selain itu kekerasan yang terjadi dalam pembelajaran 
baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal; adalah isu yang sangat 
hangat, karena maraknya informasi yang dapat dibaca, didengar, dan 
dilihat oleh masyarakat, bahkan menjadi keresahan yang mendalam bagi 
orang tua, masyarakat, bahkan pemerintah.
Isu
 kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh guru terhadap siswa dan atau 
sebaliknya, atau kekerasan antar siswa (tawuran siswa) atau kekerasan 
dalam bentuk pelecehan sudah cukup banyak kita lihat, dengar, saksikan 
atau diantara kita ada yang mengalami secara langsung. Kasus kekerasan 
di sekolah baik fisik maupun verbal. Kasus anak SD gantung diri karena 
dicemooh temannya atau dikeluarkan dari kelas sebab tidak memakai 
seragam sekolah, guru menghukum siswa dengan kata-kata yang kotor, 
merendahkan, karena siswa tidak dapat menjawab pertanyaan guru. Selain 
itu ada guru yang menjewer kuping atau memukul siswanya karena tidak 
patuh pada aturan dan/atau tidak patuh pada keinginan guru, atau siswa 
tertentu yang cenderung mengedepankan kekuasaannya karena status sosial 
orang tuanya lebih tinggi dari siswa lainya atau lebih tinggi 
kedudukannya dari gurunya, dsb.), praktek pelecehan seksual oleh guru 
terhadap siswa; adalah contoh kasus kekerasan yang kerap terjadi di 
sekolah. Kasus-kasus seperti ini tentu memerlukan perhatian yang cukup 
mendalam, serius, mulai dari kajian konseptual, penelitian empiris di 
lapangan sehingga dapat dicarikan solusi guna mengeliminasi 
tindakan-tindakan kekerasan tersebut. 
Mengembangkan
 budaya sekolah melalui atmosfir pembelajaran yang lebih kondusif; aman ,
 nyaman, dan menyenangkan dapat menumbuhkembangkan anak-anak dengan baik
 dan menjadi produk pendidikan yang bermanfaat untuk membangun bangsa 
ini dari keterpurukan dan ketertinggalan dari sisi intelektualitas, 
moralitas, dan spiritualnya. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru 
terhadap siswa, baik fisik maupun verbal seringkali berdalih atas nama 
memberikan ajaran (funishment); karena apa yang dilakukan oleh siswa 
tidak sesuai dengan kaidah atau tata krama, namun tidak disadari bahwa 
tindakan yang dilakukan guru pun mengakibatkan kerugian dan atau bahaya 
terhadap fisik dan atau psikologis siswa. Oleh karena itu, kiranya 
sangat penting untuk memahami tentang apa yang dimaksud dengan 
kekerasann itu. 
Kekerasan
 dimaknai sebagai perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau 
bahaya secara fisik, psikologis, atau financial, baik yang dialami 
individu maupun kelompok (Barker dalam Huraerah (2006) dari The Social Work Dictionary).
 Sedangkan kekerasan menurut Jack Dauglas dan Frances Chault Waksler 
(dalam Arif Rachman), istilah ini digunakan untuk menggambarkan 
perilaku, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert) dan baik 
yang bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang 
disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Jakarta 2006). 
Mencermati definisi diatas, manakala hal tersebut terjadi dalam peraktik
 pendidikan di sekolah; adalah sebuah keniscayaan yang menapikan 
kaidah-kaidah paedagogik yang sangat normative dalam memandu bagaimana 
sebuah pendidikan dan pembelajaran harus dilakukan oleh guru, hal ini 
seperti dikemukakan oleh Nana Syaodih (2004), “… proses pendidikan di 
sekolah terjadi interaksi pendidikan dan pengajaran antara pendidik 
(kepala sekolah, guru, konselor, dan tenaga pendidik lain) dengan 
peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. 
Interaksi
 pendidikan berfungsi membantu pengembangan seluruh potensi, kecakapan 
dan karakteristik peserta didik. Peranan pendidik lebih besar, karena 
kedudukannya sebagai orang yang lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih
 banyak menguasai nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan”. 
Persoalannya adalah, ketika kaidah-kaidah pendidikan harus dijunjung, 
praktek kekerasan baik yang terbuka ataupun yang tertutup, fisik maupun 
verbal masih sering terjadi di sekolah. Mengapa ?. Arif Rachman (2006), 
mengemukakan bahwa “hal-hal yang mengakibatkan kekerasan itu adalah : 1)
 kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang 
disertai dengan hukuman, terutama fisik, 2) kekerasan dalam pendidikan 
dapat diakibatkan oleh buruknya system dan kebijakan pendidikan yang 
berlaku, 3) kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan 
masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian 
vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan, 4) kekerasan bisa 
merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami
 pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant 
solution maupun jalan pintas, 5) kekersan dipengaruhi oleh latar 
belakang sosial ekonomi pelaku”. 
Apapun
 alasannya, kekerasan disekolah (dalam pendidikan) merupakan tindakan 
yang tidak dibenarkan baik oleh kaidah pendidikan, norma sekolah dan 
hukum positif yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sebagai bahan 
pemahaman (umum) tentang bentuk-bentuk seperti apa yang dikatagorikan 
sebagai kekerasan kepada anak (child abuse), Suharto (dalam Huraerah 2006), menghklasifikasikan kepada empat bentuk yaitu : pertama, kekerasan fisik, kedua kekerasan psikologis, ketiga kekersan seksual, dan keempat kekerasan sosial. Kekerasan fisik berbentuk
 penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa
 menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau 
kematian kepada anak. Kekerasan psikologis meliputi bentuk penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film porno pada anak. Kekerasan seksual dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). Kekerasan sosial, mencakup
 penelantaran anak , yaitu sikap dan perlakuan orangtua yang tidak 
memberikan perhatian layak terhadap proses tumbuhkembang anak, dan 
eksploitasi anak. 
Bentuk
 kekerasan seperti diuraikan di atas secara implementatif dapat 
dikembangkan dalam praktek pendidikan (pembelajaran) di sekolah; yakni 
pimpinan sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan anggota komunitas 
sekolah lainnya, diproteksi oleh aturan yang memuat rambu-rambu yang 
melarang perbuatan kekerasan terhadap siswa (anak) baik fisik, 
psikologis, seksual, maupun social.
Kekerasan
 di sekolah (dalam pembelajaran) adalah sebuah keniscayaan yang 
menapikan kaidah-kaidah pendidikan serta menapikan kearifan kompetensi 
pendidik maupun pimpinan sekolah. Oleh karena itu sikap anti kekerasan 
oleh seluruh anggota komunitas di sekolah tanpa kecuali perlu 
dikembangkan sebagai bentuk proteksi terhadap anak-anak bangsa ini. Arif
 Rachman, mengemukakan tentang bagaimana seharusnya yang dilakukan oleh 
sekolah ?; ia berpendapat bahwa sekolah perlu menciptakan suatu 
“kultur”. Kultur sekolah penting karena : 1) merupakan nyawa dari 
sekolah yang dapat menciptakan suasana pendidikan yang hidup dan akan 
membantu tercapainya cita-cita, visi dan misi sekolah, 2) tanpa kultur 
sekolah maka sekolah akan menjadi lembaga pengajaran yang bukan lembaga 
pendidikan. Hal lainnya, bahwa kultur sekolah dapai dikembangkan dan 
dicapai dengan cara : 1) pemahaman seluruh anggota sekolah terhadap 
kultur tersebut, 2) struktur organisasi sekolah yang mendukung. 3) 
manajemen sekolah yang sesuai dengan kultur tersebut, 4) kegiatan intra,
 ekstra dan co kurikuler yang bervariasi, dan 5) sember daya yang ada di
 sekolah diberdayakan secara optimal. Sebagai bahan acuan normatif , 
kiranya seluruh anggota komunitas sekolah (pimpinan, pendidik dan tenaga
 kependidikan, serta anggota komunitas sekolah lainnya penting memahami 
hak-hak anak dan penghapusan kekerasan bagi anak yang dilindungi oleh 
undang-undang. Pada klaosul menimbang (UURI N0. 23 Tahun 2002) 
dinyatakan : Bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang maha Esa, 
yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia sutuhnya.
 Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita 
perjuangan bangsa, memiliki peranan strategis dan mempunyai cirri dan 
sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara 
pada masa depan. Bahwa setiap anak agar kelak mampu memikul 
tanggungjawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempayan yang 
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, 
mental maupun sosial dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya 
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan
 jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perilaku tanpa 
diskriminasi. 
Anak
 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk 
anak anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala 
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat 
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai 
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat peerlindungan 
dari kekerasan dan diskriminasi (Ps. 1 Ayat (1 dan 2 UURI 23/2002), dan 
semua ini dalam rangka mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, 
berakhlak mulia dan sejahtera. Perlindungan terhadap anak salah satunya 
adalah hak mendapat perlindungan dalam pendidikan. Pada pasal 49 
(undang-undang yang sama) menegaskan bahwa Negara, pemerintah, keluarga 
dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada 
anak untuk memperoleh pendidikan. Sedang pasal 50-nya menyebutkan bahwa 
pendidikan yang dimaksud diarahkan pada : 
a.  Pengembangan
 sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik
 sampai mencapai potensi mereka yang optimal; 
b.  Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan atas hak asasi dan kebebsan asasi; 
c.   Pengembangan
 rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan 
nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat 
tinggal, dari mana anak berasal dan peradaban-peradaban yang 
berbeda-beda dari peradaban sendirinya; 
d.  Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggungjaawab; dan 
e.  Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup. 
Inilah
 rambu-rambu hukum yang kiranya dapat menjadi bahan pemahaman dan 
memprotek diri untuk memberikan perlindungan terhadap siswa dan 
anak-anak bangsa dan memprotek diri untuk tidak melakukan tindakan 
kekerasan, baik fisik, psikologis, seksual, maupun sosial. Namun 
demikian pada undang-undang ini juga dinyatakan mengenai kewajiban anak 
(pasal 19); yaitu setiap anak berkewajiban untuk : 
a.    Menghormati orang tua, wali, dan guru 
b.    Menghormati keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; 
c.    Mencintai tanah air, bangsa dan negara; 
d.    Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan 
- Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
 
BAB III
PENUTUP
A.   Saran
Menjalani
 kehidupan pada era global seperti sekarang ini menjadi begitu kompleks.
 Kompleksitasnya mungkin diakibatkan oleh berbagai dinamika yang 
terjadi, seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong 
individu harus berkompetisi, ketimpangan sosial ekonomi di masyarakat 
yang berdampak terhadap semakin besarnya angka kemiskinan (dalam rentang
 angka 15 –20% dari jumlah penduduk). Keadaan ini berpotensi terhadap 
“konflik peran” dan dapat mendorong perilaku-perilaku yang tidak 
normatif karena penuh kekecewaan dan keputusasaan. Kondisi seperti ini 
bukan tidak mungkin berpengaruh terhadap perilaku anak, dan sangat 
mungkin terekspresikan oleh anak pada saat mereka berada di lingkungan 
sekolah, lingkungan pergaulan teman sebaya, dan lingkungan pembelajaran 
dengan menunjukkan perilaku yang menyimpang dari skenario yang dirancang
 guru atau sekolah. Kondisi ini tentunya harus segera dianalisis lebih 
telik, komprehensif dan penuh kearifan agar anak dapat melakukan 
aktivitasnya dengan baik, aman dan nyaman sesuai dengan kaidah 
pembelajaran. Kompleksitas kehidupan yang paradoksal seringkali 
berdampak terhadap pola hidup masyarakat dalam menyikapinya. 
Inspirasi
 yang cukup menarik dalam upaya membangun ketahanan sekolah adalah 
melalui upaya membelajarkan nilai bagi sasaran didik agar menjadi 
anak-anak bangsa yang kuat berbasis nilai moral dalam menjalankan hidup 
dan kehidupannya. Sebuah buku berjudul Mengajarkan Nilai-nilai Kepada 
Anak, karya Linda dan Richard Gyre (Alih bahasa oleh Alex Tri K.W.) yang
 diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta tahun 1997 (menjadi
 rujukan utama pada sebagaian bahasan bab ini), adalah sebuah buku yang 
sangat relevan dengan substansi yang dibahas yakni tentang ”Membangun 
Ketahanan Sekolah”. Kesesuaian ini dimaksudkan bahwa nilai yang 
ditanamkan kepada anak merupakan pondasi dan ”garda” dalam membangun 
ketahanan diri anak dan ketahanan sekolah. Linda adalah guru dan musisi 
handal dan dinobatkan sebagai salah seorang wanita muda Amerika yang 
berprestasi oleh National Council of Women; sedangkan Richard Gyre, 
adalah Konsultan Manajemen, dan Ia adalah Direktur White House 
Conference on Children and Parents. Kedua orang ini adalah pembawa acara
 di Radio dan TV untuk kemasan program untuk membantu orangtua agar 
lebih baik mendidik anaknya. Tutur kunci pada sinopsis buku ini 
mengungkap kearifan yaitu : ” Salah satu hadiah terbaik yang dapat Anda 
berikan kepada anak Anda adalah kesadaran yang tinggi akan nilai-nilai”.
Mendidik
 anak mengembangkan nilai seperti kejujuran, kesetiaan, dan disiplin 
diri sama pentingnya dengan mengajari mereka membaca atau menyebrangi 
jalan dengan aman. Nilai-nilai yang diajarkan kepada anak merupakan alat
 terbaik untuk melindungi mereka dari penmgaruh teman sebaya dan godaan 
budaya asing yang tidak relevan dan tidak dikenal oleh anak. Memberikan 
pendidikan tentang nilai diarahkan agar anak-anak dapat memilih, memilah
 dan membuat keputusan sendiri dan bukan meniru teman-temannya atau 
karena takut ketinggalan jaman.
B.   Kesimpulan
Membangun
 ketahan sekolah tentunya tidak berarti membuat barikade besi dan kawat 
berduri di depan sekolah, tetapi sekolah sebagai lembaga pendidikan, 
sebagai subtitusi orang tua, masyarakat, bahkan Negara dan bangsa; 
sejatinya harus memelihara dan menumbuh kembangkan sifat dasar, 
filosofi, visi, dan misi, tujuan dan peranfungsungsinya, sehingga 
kesakralan sekolah sebagai lembaga penddikan yang dipercaya dapat 
membantu menumbuhkembangkan potensi anak-anak bangsa sesuai potensinya 
dan sesuai dengan harapan orangtua, masyarakat serta Negara dan bangsa 
ini. Membangun ketahanan sekolah merupakan upaya yang komprehensip dan 
seimbang antara pendidkan mental intelektual, sosioemosional, 
ekonomikal, spiritual dan kultural; sehingga anak-anak bangsa ini tidak 
hanya dididik menjadi manusia yang pinter dan terampil tetapi juga 
dididik untuk menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur, memiliki nilai
 moral, spiritual, berbudaya dan berkeadaban; sehingga anak-anak bangsa 
ini memiliki ketahanan logika, etika dan estetika. 
Menyimak
 hal di atas, membangun dan mengembangkan ketahan sekolah akan menjadi 
penting, kerena bentuk kontijensi seperti diuarai di atas, erat terkait 
dengan sejauh mana anak-anak kita (baca: siswa/mahasiswa) bahkan 
masyarakat luas memahami, memiliki ketahanan dan menjunjung tinggi 
nilai-nilai moral dan budaya, norma intelektual, emosional, social, 
spiritual, dsb. Hal ini tentu akan terpulang kepada kita yang bergerak 
sebagai pelaku pendidikan untuk terus berupaya dengan suatu komitmen 
membangun ketahan dan mengembangan budaya di lembaga pendidikan kita 
melalui kaidah paedagogik, profesionalitas, didaktik-metodologik, 
andragogik serta kearifan local yang lekat dengan masyarakatnya; seperti
 kata Carl Rogers, “Freedom to Learn for the 80’s” (baca: dalam 
Eleanor Fienberg dan Walter Fienberg: 2003) : “Ketika saya mulai 
mempercayai mahasiswa … saya berubah dari seorang guru dan evaluator 
menjadi fasilitator dalam proses belajar”. 
Membangun
 dan mengembangkan Ketahan Sekolah”, jika dikaitkan dengan persoalan 
“kontinjensi” yang begitu sering kita dengar, baca, lihat langsung 
ataupun dari tayangan televisi; rasanya teramat miris, bahkan terkadang 
menjadi takut. Namun nuansa qalbu mendorong keinginan memberi tanggung 
jawab moral (baca: paling tidak mewasiati diri) sebagai orang tua (dari 
anak-anak), sebagai guru, pelaku pendidikan, sebagai warga bangsa untuk 
turut menumbuhkembangkan anak-anak bangsa ini menjadi generasi yang 
sehat fisiknya, pikirnya, emosinya, spiritualnya, serta perilakunya; 
sehingga kelak menjadi manusia yang “kaffah” dan memiliki ketahanan diri mengahadapi dunia yang terus berubah pesat dengan segala dinamikanya. Amin……
DAFTAR PUSTAKA
- Al Qur’an
 - Al Hadits
 - Adi Tjahjono (2004), Stop Selamatkan Moral Bangsa, Citra Pendidikan Indonesia (CPI), Jakarta.
 - A. Malik Fajar (2004), Kumpulan Pidato Mendiknas, Depdiknas, Jakarta
 - Depdiknas, UURI No. 20 th. 2003, tentang : Sisdiknas, Jakarta. Depdiknas, PPRI No 19 Th. 2005, tentang : Standar Nasional Pendidikan, Jakarta Depdiknas (2001), Manajeman Peningkatan Mutu Berbasis sekolah, Jakarta.
 - Depdiknas (2002), Manajemen Peningkatan Mutu berbasis sekolah, Buku 4 tentang Pedoman Tatakrama dan tata Tertib Kehidupan Sosial Sekolah Bagi SLTP, Jakarta.
 - Supriadie, Didi (2009), Membangun Ketahanan Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
 - H.A.R. Tilaar (2000), Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta. H.M. Ridwan Ibrahim Lubis (2003), Pembinaan Akhlaq Al-Quran Untuk Anak Remaja, Islamic Village, Tangerang.
 - Linda dan Ricahad Gyre (1997), Mengajarkan Nilai-Nilai Kepada Anak (Alih Bahasa oleh : Alex Tri, K.W.), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
 - Soedijarto (2000), Pendidikan Nasional Sebagai Wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, CINAP,
 - Syaukani (2002), Titik Temu Dalam Dunia Pendidikan, Nuansa Madani, Jakarta.
 - http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com/
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar