Kami ucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para pengunjung setia Blog ini. Semoga Anda semua selalu dilimpahkan rezeki oleh Allah SWT, AAmiin.

Minggu, 08 Juli 2012

Pandangan Tentang IQ, EQ, dan SQ

Manusia adalah makhluk yang paling cerdas, dan Tuhan, melengkapi manusia dengan komponen kecerdasan yang paling kompleks. Sejumlah temuan para ahli mengarah pada fakta bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan paling unggul dan akan menjadi unggul asalkan bisa menggunakan keunggulannya. Kemampuan menggunakan keunggulan ini dikatakan oleh William W Hewitt, pengarang buku The Mind Power, sebagai faktor yang membedakan antara orang jenius dan orang yang tidak jenius di bidangnya. Thorndike adalah salah satu ahli yang membagi kecerdasan manusia menjadi tiga, yaitu kecerdasan abstrak dalam bentuk kemampuan memahami simbol matematis atau bahasa, kecerdasan kongkrit dalam bentuk kemampuan memahami objek nyata dan kecerdasan sosial dalam bentuk kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan manusia yang dikatakan menjadi akar istilah Kecerdasan Emosional (Stephen Jay Could, 1994 dalam Ubaidillah, 2004).


Pakar lain seperti Charles Handy melakukan identifikasi atas unsur-unusr kecerdasan yang lebih banyak, yaitu kecerdasan logika (menalar dan menghitung), kecerdasan praktek (kemampuan mempraktekkan ide), kecerdasan verbal (bahasa komunikasi), kecerdasan musik, kecerdasan intrapersonal (berhubungan ke dalam diri), kecerdasan interpersonal (berhubungan ke luar diri dengan orang lain) dan kecerdasan spasial (Inside Organizaion: 1990 dalam Ubaidillah 2004). 
 
Disamping itu, Psikolog Howard Gardner & Associates mengidentifikasi adanya 25 unsur kecerdasan manusia termasuk misalnya saja kecerdasan visual / spasial, kecerdasan natural (kemampuan untuk menyelaraksan diri dengan alam), atau kecerdasan linguistik (kemampuan membaca, menulis, berkata-kata), kecerdasan logika (menalar atau menghitung), kecerdasan kinestik / fisik (kemampuan mengolah fisik seperti penari, atlet, dll), kecerdasan sosial yang dibagi menjadi intrapersonal dan interpersonal (Steve Hallam, 2002 dalam Ubaidillah, 2004: 3). Selama bertahun-tahun dunia akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan promosi personel militer) dan dunia kerja, menggunakan IQ sebagai standar mengukur kecerdasan seseorang. Akan tetapi, penggunaan standar IQ ini lama kelamaan mendapat sorotan dari para ahli dan tercatat sedikitnya ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang menuntut untuk diperbaruhi, yaitu:
 
a. Pemahaman absolut terhadap skor IQ
Steve Hallam berpandangan, pendapat yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan tidak bisa diubah, adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjuk pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir, sementara sisanya, merupakan hasil dari proses belajar.
 b. Cakupan IQ yang hanya mencakup kecerdasan nalar, matematika dan logika
Steve Hallam mengemukakan bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Seperti halnya, Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik dan Albert Einstein dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ilmu Fisika dan Matematika, serta Daniel Golemen (1994 dalam Elliyawati, 2007: 23) menyatakan bahwa kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama tehnis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya, mampu mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.

Sementara itu, Danah Zohar (2001: 10) menggagas istilah tehnis SQ (kecerdasan spiritual) , bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi pusat-diri. Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalammelihat makna yang ada di balik kenyataan yang ada. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi ter-kafling-kafling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif. SQ memungkinkan manusia untuk berfikir secara kreatif, berwawasan jauh membuat dan bahkan mengubah aturan. SQ dengan demikian merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif dan merupakan jenis pemikiran yang memungkinkan manusia menata kembali dan mentransformasikan dua jenis pemikiran yang dihasilkan IQ dan EQ. Sekalipun SQ tidak sama dengan beragama, tidak harus berhubungan dengan agama dan beragama itu tidak menjamin dimilikinya SQ yang tinggi, namun tantangan untuk mencapai kecerdasan spiritual yang tinggi sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Tetap diperlukan adanya kerangka acuan dari agama untuk dapat mempermudah manusia dalam memahami makna dan nilai dalam kehidupan ini. Dengan demikian penguasaan agama akan membantu manusia dalam mempermudah meningkatkan Kecerdasan Spiritual, sehingga manusia dapat menangkap makna dan nilai-nilai dengan lebih baik.

Pembicaraan mengenai SQ atau kecerdasan spiritual tidak lepas dari konsep filosofis yang menjadi latar belakangnya. Konsep mengenai SQ itu sendiri sebenarnya sudah lama diperbincangkan, hanya saja dengan kemasan yang berbeda. Dalam ilmu psikologi dikenal tiga aliran besar yang menjadi inspirasi bagi banyak aliran yang berkembang pada saat kemudian. Aliran tersebut adalah behaviorisme, psikoanalisis dan humanistis. Kecerdasan spiritual banyak mengembangkan konsep-konsepnya dari aliran humanistis. Aliran humanistis ini kemudian mengembangkan sayapnya secara spesifik membentuk psikologi transpersonal, dengan landasan pengalaman keagamaan sebagai peak experience atau pengalaman puncak, dan sisi terjauh kehidupan manusia (fartherst of human nature). Menurut Maslow (Rakhmat dalam Zohar dan Marshall, 2000: 12) psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal.

Penelusuran pemahaman kecerdasan spiritual (SQ) saat sekarang nampaknya cukup relevan, mengingat banyaknya persoalan-persoalan sosial yang semakin membebani hidup seseorang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Frankl (Koeswara, 1992 dalam Elliyawati, 2007: 3) bahwa sebagian besar masyarakat sekarang mengidap neurosis kolektif. Ciri dari gejala tersebut adalah:
  • Sikap masa bodoh terhadap hidup, yaitu suatu sikap yang menunjukkan pesimisme dalam menghadapi masa depan hidupnya.
  • Sikap fatalistik terhadap hidup, menganggap bahwa masa depan sebagai sesuatu yang mustahil dan membuat rencana bagi masa depanadalah kesia-siaan.
  • Pemikiran konformis dan kolektivis. Yaitu cenderung melebur dalam masa dan melakukan aktivitas atas nama kelompok.
  • Fanatisme, yaitu mengingkari kelebihan yang dimiliki oleh kelompok atau orang lain.

Dengan ciri-ciri tersebut manusia berjalan menuju penyalahartian dan penyalahtafsiran tentang dirinya sendiri sebagai sesuatu yang "tidak lain" (nothing but) dari refleks-refleks atau kumpulan dorongan (biologisme), dari mekanisme-mekanisme psikis (psikologisme) dan produk lingkungan ekonomis (sosiologisme). Dengan ketiga konteks tersebut maka manusia "tidak lain" dalah mesin. Kondisi tersebut merupakan penderitaan spiritual bagi manusia. Terkait dengan SQ, dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri. SQ adalah fasilitas yang berkembang selama jutaan tahun yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan. Utamanya persoalan yang menyangkut masalah eksistensial, yaitu saat seseorang secara pribadi terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. Dengan dimilikinya SQ seseorang mampu mengatasi masalahhidupnya dan berdamai dengan masalah tersebut. SQ memberi sesuatu rasa yang dalam pada diri seseorang menyangkut perjuangan hidup.

Penelusuran kecerdasan spiritual tampaknya merupakan jawaban akan keterbatasan kemampuan intelektual (IQ) dan emosional (EQ) dalam menyelesaikan kasus-kasus yang didasarkan atas krisis makna hidup. Otak IQ dasar kerjanya adalah berfikir seri, linear, logis dan tidak melibatkan perasaan. Keunggulan dari berfikir seri ini adalah akurat, tepat dan dapat dipercaya. Kelemahannya adalah ia hanya bekerja dalam batas-batas yang ditentukan, dan menjadi tidak berguna jika seseorang ingin menggali wawasan baru atau berurusan dengan hal-hal yang terduga. Otak EQ cara kerjanya berfikir asosiatif. Jenis pemikiran ini membantu seseorang menciptakan asosiasi antarhal, misalnya antara lapar dan nasi, antara rumah dan kenyamanan, antara ibu dan cinta, dN Linnya. Pada dasarnya pemikiran ini mencoba membuat asosiasi antara satu emosi dan yang lain, emosi dan gejala tubuh, emosi dan lingkungan sekitar. Kelebihan cara berfikir asosiatif adalah bahwa ia dapat berinteraksi dengan pengalaman dan dapat terus berkembang melalui pengalaman atau eksperimen. Ia dapat mempelajari cara-cara baru melalui pengalaman yang belum pernah dilakukan sebelumnya, merupakan jenis pemikiran yang dapat mengenali nuansa ambiguitas. Kelemahan dari otak EQ adalah variasinya sangat individual dan tidak ada dua orang yang memiliki kehidupan emosional yang sama. Hal ini tampak dari pernyataan "saya dapat mengenali emosi anda, saya dapat berempati terhadapnya, tetapi saya tidak dapat memiliki emosi anda".

Otak SQ cara kerjanya berfikir unitif. Yaitu kemampuan untuk menangkap seluruh konteks yang mengaitkan antar unsur yang terlibat. Kemampuan untuk menangkap suatu situasi dan melakukan reaksi terhadapnya, menciptakan pola dan aturan baru. Kemampuan inimerupakan ciri utama kesadaran, yaitu kemampuan untuk mengalami dan menggunakan pengalaman tentang makna dan nilai yang lebih tinggi. Tanda dari SQ yang berkembang dengan baik adalah (Elliyawati, 2007: 3): (1) Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif), (2) Tingkat kesadaran diri yang tinggi, (3) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, (4) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, (5) Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, (6) Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu, (7) Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (holistik), (8) Kecenderungan nyata untuk bertanya "mengapa?" atau "bagaimana jika" untuk mencari jawaban-jawaban mendasar, (9) Mandiri.
SQ yang berkembang dengan baik dapat menjadikan seseorang memiliki "makna" dalam hidupnya. Dengan "makna" hidup ini seseorang akan memiliki kualitas "menjadi", yaitu suatu modus eksistensi yang dapat membuat seseorang merasa gembira, menggunakan kemampuannya secara produktif dan dapat menyatu dengan dunia.

2. Penanaman SQ

Berkaitan dengan kegiatan penanaman SQ, tidak terlepas dari konsep tentang belajar dan pembelajaran dalam pendidikan. Oleh karena itu, dibawah ini diuraikan tentang konsep belajar dan pembelajaran yang berkaitan dengan proses penanaman SQ. Dalam arti luas, pendidikan mencakup seluruh proses hidup dan segenap bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal, informal, maupun non formal dalam rangka mewujudkan diri sesuai dengan tahapan tugas perkembangannya secara optimal, sehingga ia mencapai suatu taraf kedewasaan tertentu. Sedangkan dalam arti sempit, pendidikan didefinisikan sebagai salah satu dari proses interaksi belajar-mengajar dalam bentuk formal, yang dikenal sebagai “pengajaran” (Makmun, 2005: 22). Berdasarkan definisi tersebut, dapat dilihat bahwa unsur yang terdapat dalam pengertian pendidikan dalam arti luas dan sempit adalah adanya proses “belajar”.

Di kalangan ahli psikologi pendidikan terdapat keragaman dalam menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar (learning). Akan tetapi, baik secara eksplisit maupun implisit pada dasarnya terdapat kesamaan makna yaitu bahwa dalam belajar selalu menunjukkan pada suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu (Hilgard, 1984 dalam Makmun 2005: 5). Perubahan tersebut mungkin merupakan suatu penemuan informasi atau penguasaan suatu ketrampilan yang telah ada (Hilgard, 1984 dalam Makmun, 2005:4). Mungkin juga bersifat penambahan atau perkayaan dari informasi atau pengetahuan atau ketrampilan yang telah ada, mungkin pula bersifat reduksi atau menghilangkan sifat kepribadian tertentu atau perilaku tertentu yang tidak dikehendaki (Woodwort dan Mawquis, 1957 dalam Makmun, 2005:4).

Apabila dicermati, dalam kasus-kasus yang terjadi sehari-hari, terdapat variasi pencapaian hasil belajar yang berbeda-beda pada setiap individu. Apabila dalam diagram yang digambarkan oleh Viesta dan Tompson tersebut ditunjukkan bahwa pencapaian proses belajar mampu merubah perilaku atau pribadi senilai satu (1), maka dalam kenyataan sehari-hari nilai tersebut tidaklah mutlak satu (1). Ada individu yang mampu mencapai perubahan pribadi atau perilaku mendekati satu, dan ada yang hanya mendekati nol (0). Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua proses belajar mampu memberikan hasil yang maksimal, akan tetapi diperlukan adanya suatu konsep atau ilmu tertentu yang mendukung keberhasilan belajar setiap individu.

Dalam kaitannya dengan SQ, untuk mengetahui kapasitas SQ seseorang, Zohar memberikan kuesioner-kuesioner terukur dengan tema-tema fleksibilitas dalam adaptasi spontan dan aktivitas, kesadaran diri (self-awareness), kemampuan menghadapi dan mengatasi penderitaan, kemampuan menghadapi dan menyelesaikan kenyerian, kualitas yang terinspirasi oleh visi dan nilai, keengganan untuk berbuat yang menyebabkan kerugian yang tidak perlu; kecenderungan untuk melihat segala sesuatu secara holistik, pencarian jawaban yang fundamental atas pertanyaan "Mengapa" dan "Bagaimana?", dan hal-hal yang menjadikan seseorang seperti dalam istilah psikologi field-independent. Menurut Zohar, seseorang yang ber-SQ tinggi berpeluang menjadi pemimpin yang melayani (servant leader) yang sangat responsif dalam mengarahkan dan membawa orang lain kepada visi dan nilai yang lebih tinggi, dan memberikan teladan bagaimana menerapkan visi dan nilai tersebut. Dengan kata lain sebagai insipirator bagi masyarakatnya.

Indikator-indikator yang digunakan untuk pengukuran SQ tersebutlah yang dapat ditanamkan pada siswa, sehingga siswa memiliki ciri atau karakter sebagai manusia yang ber SQ tinggi. Dengan demikian,maka hal-hal yang ditanamkan dalam penanaman SQ siswa adalah sebagai berikut:

a. Pembelajaran fleksibilitas dalam adaptasi spontan dan aktivitas
Fleksibilitas dalam adaptasi spontan dan aktivitas mengandung pengertian tentang kemampuan seseorang dalam tempo cepat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan disekitarnya, dan kemampuan untuk berstrategi sehingga tidak mlakukan tindakan yang dapat merusak tatanan yang ada. Tidak mampunya seseorang dalam melakukan tindakan ini akan menghasilkan tindakan yang anti thsesis atau berlawanan dan frontal terhadap lingkungan disekitarnya. Sebaliknya bagi seseorang yang fleksibel, meskipun memiliki perbedaan dengan lingkungan sekitarnya, dirinya akan mampu membawa diri dan bertindak secara halus bahkan dapat mempengaruhi lingkungan disekitarnya dengan tanpa menimbulkan kerusakan atau pertentangan yang berdampak buruk. Hal ini dapat ditanamkan pada siswa melalui berbagai rangkaian kegiatan kelompok yang menuntut untuk dapat menghormati perbedaan dengan orang lain, melakukan pembelajaran pengetahuan dengan ceritera yang dapat merangsang siswa agar berfikir tentang keluwesan dalam berkomunitas, pemberian konsep secara langsung tentang artipentingnya berlaku luwes dan bagaimana seharusnya siswa untuk bertindak secara fleksibel, serta pembelajaran studi kasus dengan metode diskusiataupun tanya jawab tentang venomena fleksibilitas. Pembelajaran tentang tolong-menolong juga sangat penting untuk meningkatkan fleksibilitas, dimana tolong menolong dilakukan kepada sisapa saja tanpa memandang segala perbedaan tentang suku, ras, maupun agama. Pembelajaran lain yang juga dapat membantu adalah pengenalan tentang berbagai perbedaan suku, ras, maupun agama dan bagaimana menghormati perbedaan yang ada, serta pembelajaran ceritera hikmah tentang egoisme dan keinginan untuk menang sendiri.

b. Pembelajaran kesadaran diri (Self-Awareness)
Kesadaran diri dimaksudkan sebagai kemampuan untuk berfikir secara mandiri yang tidak hanya tergantung pada kebanyakan orang atau lingkungannya. Kesadaran diri berarti sebagai kemampuan menemukan jawaban secara mandiri atas suatu permasalahan, bahkan berani untuk berfikir dan bersikap berbeda dengan orang lain, akan tetapi masih dalam kerangka yang saling menghormati kebebasan masing-masing untuk berfikir dan bertindak. Pembelajaran ini dapat diupayakan dengan pembelajaran tentang bagaimana bersikap secara mandiri, berani mengeluarkan pendapat sendiri dengan alasan-alasan yang logis, bahkan berani beradu argumen dengan lingkungannya, akan tetapi tidak diperkenankan untuk memaksakan kehendak. Pembelajaran diskusi dan pelatihan menganalisis secara sederhana terhadap suatu tindakan seseorang atau suatu venomena dapat menjembatani pembelajaranmeningkatkan kesadaran diri. Pembelajaran studi kasus juga merupakan teknik yang cukup penting untuk melatih kesadaran diri. Hal lain yang sekiranya dapat membantu pembelajaran tentang kesadaran diri adalah pembelajaran tentang kebebasan berkreativitas sehingga siswa dapat memahami dan sadar akan potensi masing-masing siswa yang berbeda-beda. Pembelajaran tentang membuat perencanaan sederhana juga diperlukan untuk melatih kemandirian siswa untuk melaksanakan tindakan yang terencana secara cerdas.

c. Pembelajaran tentang kemampuan menghadapi dan mengatasi penderitaan serta kemampuan menghadapi dan menyelesaikan kenyerian
Kemampuan menghadapi dan mengatasi penderitaan dan menyelesaikan kenyerian berarti bahwa seseorang bukan hanya tahan dalam merasakan penderitaan, akan tetapi juga berfikir kreatif sehingga menemukan langkah dalam menyelesaikan masalah secara strategis. Kemampuan ini akan membentengi seseorang untuk bertindak anarkis, oleh karena anarkisme merupakan salah satu produk dari munculnya rasa kalut atau gusar dalam hati seseorang, dan rasa gusar merupakan produk dari ketidakmampuan seseorang dalam menemukan metode guna menyelesaikan masalah.
Pembelajaran ini dapat diupayakan melalui pembelajaran tentang problem solving yang akan membiasakan siswa untuk segera berfikir kreatif ketika menghadapai suatu masalah yang muncul. Pembelajaran secara konseptual tentang arti hidup dimana didalam hidup akan selalu ada kesulitan dan diiringi dengan kemudahan selagi adanya usaha, sangatlah diperlukan bagi siswa. Pembelajaran ini diiringi dengan pembelajaran tentang kesabaran sebagaimana diperintahkan dalam pendidikan agama. Pembelajaran ini juga dapat dilaksanakan dengan gambar, ceritera atau film yang melukiskan tentang lebih banyaknya orang lain yang lebih menderita daripada yang dialami siswa, sehingga siswa akan terhindar dari rasa putus asa saat menghadapi penderitaan. Disamping itu, perlu ditumbuhkan optimisme dalam diri siswa ketika menghadapi penderitaan, baik dilaksanakan melalui pemberian konsep maupun melalui ceritera-ceritera tentang keberhasilan orang-orang besar yang telah mampu menyelesaikan penderitaannya dan berakhir dengan kemenangan yang membanggakan.

d. Pembelajaran visi dan nilai
Pembelajaran ini ditjukan agar anak dapat menemukan visi dalam hidupnya yang dirumuskan melalui penetapan misi, serta bagaimana memasukkan nilai-nilai relegius dan nilai-nilai sosial dalam visi yang ada. Pembelajaran ini dapat dilakukan dengan pelatihan merumuskan tujuan hidup secara sederhana dan kemudian dikembangkan dalam bentuk rumusan visi dan misi. Siswa dilatih untuk tidak mengabaikan nilai-nilai kultural yang cukup penting bagi terciptanya misi yang realistis dan valuable.

e. Pembelajaran untuk tidak berbuat yang menyebabkan kerugian.
Salah satu ciri SQ yang tinggi adalah keengganan anak untuk melakukan perbuatan yang merugikan. Dalam hal ini, siswa perlu dilatih untuk melakukan analisis secara cepat tentang hal-hal yang dapat merugikan orang lain, sehingga dalam bertindak spontan sekalipun akan terhindar dari tindakan merugikan ini. Siswa diberi pengetahuan tentang bagaimana rasanya dirugikan orang lain dan apa akibat dalam jangka pendek dan panjang apabila melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Siswa dilatih untuk mengekspresikan segala perbuiatannya pada diri sendiri, yaitu dengan melatih berfikir bagaimana jika tindakan yang dilakukannya dikenakan pada dirinya sendiri, atau bagaimana jika dirinya menjadi orang yang dirugukan. Pembelajaran ini juga dapat dilakukan dengan memberikan cerita-cerita keteladanan yang mana seseorang berhasil menemukan keuntungan akibat mampu menahan diri dari tindakan yang merugikan orang lain.

f. kecenderungan untuk melihat segala sesuatu secara holistik
Melihat segala seuatu secara holistik berarti melihat secara keseluruhan, utuh, dan tidak terpecah-pecah. Dengan kata lain, kemampuan ini merupakan kemampuan untuk merangkaikan suatu hal dengan hal lain dan menganalisisnya secara utuh dari awal sampai akhir. Pembelajaran ini dapat dilakukan dengan pelatihan-pelatihan analisis gambar atau mensinopsis suatu ceritera yang pendek, sehingga anak tidak terbiasa berfikir secara terpecah-pecah.

g. Pembelajaran Pertanyaan “Apa, mengapa, dan bagaimana”
Pembelajaran ini pada dasarnya ditujukan agar seseorang tidak hanya berfikir tentang adanya suatu kejadian, akan tetapi juga berfikir tentang sebab dan proses suatu kejadian. Dengan demikian, maka akan dapat ditemukan adanya hikmah atau sesuatu pelajaran yang dapat diambil dari suatu venomena yang muncul. Pembelajaran ini dapat dilakukan dengan permainan kreatif dimana ketika menemukan suatu benda maka siswa diminta untuk berkreatif tentang manfaat-manfaat lain selain yang sudah umum terjadi di lingkungan sehari-hari, serta menjelaskna bagaimana suatu proses yang mendasari dari kreativitas tersebut.


Daftar Pustaka :
  • Anonim, 2007. Devisit SQ. www.forum.com
  • Elliyawati, Ratna. 2004. Kecerdasan Spiritual (SQ). www.untag.sby.ac.id
  • Fromm,E.1987. Memiliki dan Menjadi: dua modus eksistensi. Alih Bahasa: F.Soesilo-Hardo.Jakarta: LP3ES.
  • Hasan, M. 2006. Pengaruh SQ Terhadap Kemampuan Memimpin Organisasi Mahasiswa. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
  • Hudoyo,H. 1990. Pembelajaran Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah Semlok Konstruktivisme sebagai Rangkaian Kegiatan Piloting JICA. FMIPA UGM.
  • Husnaini. 2008. Keseimbangan IQ, EQ dan SQ Dalam Perspektif Islam. www.badilag.netIsmail, 
  • Rahmat. 2007. Tinjauan Kecerdasan Spiritual (SQ) Terhadap Permasalahan Sosial di Indonesia. www.himpsi.org
  • Koeswara,E.1992.Logoterapi: Psikoterapi Viktor Frankl. Yogyakarta: Kanisius
  • Makmun,Syamsudin A. 2005. Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosdakarya.
  • Mulyasa, E. 2007. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Rosdakarya.
  • Nurani.2003. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
  • Sukmaningadji. 2006. Paradigma Pembelajaran.www.pikiranrakyat.com 
  • Susmono, 2007. Pengaruh Lingkungan Keluarga Demokratis Terhadap SQ Anak. Yogyakarta: UNY
  • Ubaidilah. 2004. Selayang Tentang IQ,EQ dan SQ. www.detik.com
  • Zohar,D.& Marshall,I.2000.SQ: Spiritual Intelligence-The Ultimate Intelligence. Alih Bahasa: Rahmani Astuti dkk. Bandung: Mizan Media Utama.

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar