Faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya. Kepribadian
itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang
baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur
bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil
(tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan
jiwa (tingkat menengah).
Apa yang dimaksud dengan kepribadian? Dalam uraian ini kita tidak akan membicarakan arti atau batasan kepribadian secara teori, akan tetapi akan mencoba memahami berbagai unsur kepribadian yang dapat dilihat atau difahami dengan mudah. Orang awam dengan mudah mengatakan bahwa seorang itu punya kepribadian yang baik, kuat dan menyenangkan. Sedangkan ada pula orang lain dikatakan mempunyai kepribadian lemah tidak baik atau buruk dan sebagainya.
Apa yang dimaksud dengan kepribadian? Dalam uraian ini kita tidak akan membicarakan arti atau batasan kepribadian secara teori, akan tetapi akan mencoba memahami berbagai unsur kepribadian yang dapat dilihat atau difahami dengan mudah. Orang awam dengan mudah mengatakan bahwa seorang itu punya kepribadian yang baik, kuat dan menyenangkan. Sedangkan ada pula orang lain dikatakan mempunyai kepribadian lemah tidak baik atau buruk dan sebagainya.
Kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak (maknawi), sukar dilihatatau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan. Misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun yang berat.
Barangkali dalam hal ini, lebih baik kita memandang kepribadian tersebut dari segi terpadu (integrated) atau tidaknya. Kepribadian terpadu, dapat menghadapi segala persoalan dengan wajar dan sehat, karena segala unsur dalam kepribadiannya bekerja seimbang dan serasi. Pikirannya mampu bekerja dengan tenang, setiap masalah dapat dipahaminya secara obyektif, sebagaimana adanya. Maka sebagai guru ia dapat memahami kelakuan anak didik sesuai dengan perkembangan jiwa yang sedang dilaluinya. Pertanyaan anak didik dapat dipahami secara obyektif, artinya tidak ada kaitannya dengan persangkaan atau emosi yang tidak menyenangkan. Tidak jarang guru yang merasa rendah diri, menanggapi pertanyaan anak didik sebagai kritikan atau ancaman terhadap harga dirinya, maka jawabannya bercampur emosi, misalnya dengan marah atau ancaman.
Perasaan dan emosi guru yang mempunyai kepribadian terpadu tampak stabil, optimis dan menyenangkan. Dia dapat memikat hati anak didiknya, karena setiap anak merasa diterima dan disayangi oleh guru, betapapun sikap dan tingkah lakunya.
Guru yang goncang atau tidak stabil emosinya, misalnya mudah cemas, penakut, pemarah, penyedih dan pemurung. Anak didik akan terombang-ambing dibawa oleh arus emosi guru yang goncang tersebut karena anak didik yang masih dalam pertumbuhan jiwa itu juga dalam keadaan tidak stabil, karena masih dalam pertumbuhan dan perubahan. Biasanya guru yang tidak stabil emosinya tersebut, tidak menyenangkan bagi anak didik, karena mereka seringkali merasa tidak dimengerti oleh guru. Kegoncangan perasaan anak didik itu akan menyebabkan kurangnya kemampuannya untuk menerima dan memahami pelajaran, sebab konsentrasi pikirannya diganggu oleh perasaannya yang goncang karena melihat atau menghadapi guru yang goncang tadi.
Guru yang pemarah atau keras, akan menyebabkan anak didik takut. Ketakutan itu dapat bertumbuh atau berkembang menjadi benci. Karena takut itu menimbulkan derita atau ketegangan dalam hati anak, jika ia sering menderita oleh seorang guru, maka guru tersebut akan dijatuhinya agar dapat menghindari derita yang mungkin terjadi. Akan tetapi sebagai anak didik yang harus patuh dan tunduk kepada peraturan sekolah pendidikan, ia terpaksa tetap berada dalam kelas, ketika guru tersebut ada, maka lambat laun guru itu akan berhubungan secara negatif dalam hati anak didik itu, artinya ia akan membencinya. Apabila anak didik benci kepada guru, maka ia tidak akan berhasil mendapat bimbingan dan pendidikan dari guru tersebut, selanjutnya ia akan menjadi bodoh walaupun kecerdasannya tinggi.
Demikianlah pula dengan berbagai emosi lainnya yang tidak stabil, akan membawa kepada kegoncangan emosi pula pada anak didik bahkan mungkin akan membawa kepada kegoncangan kejiwaan. Tingkah laku atau moral guru pada umumnya, merupakan penampilan lain dari kepribadiannya. Bagi anak didik yang masih kecil, guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam pertumbuhannya, guru adalah orang pertama sesudah orang tua, yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Kalaulah tingkah laku atau akhlak guru tidak baik, pada umumnya akhlak anak didik akan rusak olehnya, karena adak mudah terpengaruhi oleh orang yang dikaguminya. Atau dapat juga menyebabkan anak didik gelisah, cemas atau terganggu jiwa karena ia menemukan contoh yang berbeda atau berlawanan dengan contoh yang selama ini didapatnya di rumah dari orang tuannya.
Sikap guru dalam menghadapi segala persoalan, baik menghadapi anak didik, teman-temannya sesama guru dan terhadap pendidikan itu sendiri akan dilihat, diamati dan dinilai pula oleh anak didik. Sikap pilih kasih dalam memperlakukan anak didik, adalah yang paling cepat dirasakan oleh anak didik, karena semua anak mengharapkan perhatian dan kasih sayang gurunya. Kelakuan anak didik tidak boleh dijadikan alasan untuk membedakan perhatian, karena anak yang nakal misalnya, seringkali dimarahi dan dibenci oleh guru, karena ia sering mengganggu suasana belajar. Akan tetapi guru yang bijaksana tidak akan dibenci kepada anak yang nakal, dia akan lebih memperhatikannya dan berusaha mengetahui latar belakang anak tersebut.
Selanjutnya berusaha memperbaikinya secara individual mungkin dengan mengajaknya bicara di luar jam belajar bahkan menghubungi orang tuanya dan sebagainya. Boleh jadi kenakalan itu terjadi karena si anak merasa tidak disayangi oleh orang tuannya, atau karena suasana keluarganya goncang dan menegangkan, sehingga ia bingung dan tertekan perasaan maka gurulah orang terdekat tempat memantulkan perasaannya yang goncang itu.
Sikap guru terhadap agama juga merupakan salah satu penampilan kepribadian. Guru yang acuh tak acuh kepada agama akan menunjukkan sikap yang dapat menyebabkan anak didik terbawa pula kepada arus tersebut, bahkan kadang-kaadang menyebabkan terganggunya jiwa anak didik. Sebuah contoh yang pernah terjadi di sebuah Sekolah SMP di suatu kota sebagai berikut : Seorang anak didik kelas dua dibawa ke klinik jiwa, karena mengalami gangguan kejiwaan, cemas takut dan tidak dapat belajar. Setelah oleh dokter jiwa diteliti dan dikumpulkan informasi tentang berbagai peristiwa dan pengalaman yang terjadi pada anak tersebut, ternyata bahwa penyakit tersebut dideritanya sejak guru olah raga memarahinya di depan kelas dengan meremehkan ketentuan agama yaitu ketika guru tersebut akan membawa anak didiknya pergi berenang. Anak tadi bertanya : Bagaimana mungkin anak perempuan bersama anak laki-laki, dalam pakaian renang? Guru olah raga yang tidak bijaksana tersebut menjawab sambil mengejek : Apakah kamu akan berenang pakai jilbab. Anak-anak tertawa, akan tetapi anak yang bertanya tadi diam dan merasa sangat malu serta bingung, apa yang harus diperbuatnya. Selama ini ia tahu bahwa wanita itu harus menutupi tubuhnya karena ada ketentuan agama yang harus dipatuhi. Akan tetapi gurunya mengejeknya ketika ia bertanya untuk mendapatkan penjelasan, agar ia dapat ke luar dari kesukarannya itu. Ia tidak dapat meyelesaikan persoalan itu, akhirnya ia jatuh kepada gangguan kejiwaan. Bagi anak-anak lain yang tidak mengalami gangguan kejiwaan namun jawaban guru tersebut juga merupakan semacam bahaya, yaitu timbulnya kecondongan untuk meremehkan ketentuan agama.
Cara guru berpakaian, berbicara, berjalan dan bergaul juga merupakan penampilan kepribadian lain, yang juga mempunyai pengaruh terhadap anak didik. Termasuk pula dalam masalah kepribadian guru itu, sikap dan pandangan guru terhadap fungsinya bagi anak didiknya. Apakah ia sebagai pemimpin, yang menyuruh, memerintah dan mengendalikan? Sedangkan anak didik adalah yang dipimpin harus patuh menurut dan menerima. Ataukah ia sebagai pembimbing yang mengerti dan menyiapkan suasana bagi anak didik, ia hidup dan ikut aktif dalam kegiatannya.
Macam yang pertama, yang menempatkan dirinya sebagai pemimpin yang memerintah dan menyuruh akan bersikap besar, sungguh-sungguh dan menampakkan diri dalam bentuk yang ideal. Hubungan antara guru dan anak didik dalam hal ini, adalah seperti hubungan atasan dan bawahan. Jika anak didik patuh, maka kepatuhan itu tidak akan berlangsung lama, dan tidak menguntungkan dalam pendidikan, karena anak didik dalam mematuhi itu mengalami ketegangan atau merasa terpaksa. Anak didik tidak akan merasa aman terhadap guru yang seperti itu, mungkin mereka akan menjauh atau menjadi putus asa, karena tidak mampu mengikuti guru tersebut.
Lain halnya dengan guru macam kedua, yang merasa bahwa dirinya adalah pembimbing bagi anak didiknya, ia menyiapkan suasana yang membantu mereka, ia ikut aktif dalam kegiatan mereka, ia menampakkan diri sebagaimana adanya, tidak berpura-pura hebat atau seram, hubungannya dengan anak didik sederhana dan wajar, atau dapat dikatakan seperti hubungan kakak dan adik. Biasanya guru yang seperti itu menarik dan menyenangkan bagi anak didik, ia akan dihormati, disayangi dan dipatuhi dengan gembira oleh anak didik. Pribadinya akan di contoh dan pelajarannya akan diperhatikan serta diminati oleh anak didik.
Mengingat tugas guru adalah mendidik dan bukan hanya mengajar suatu bidang tertentu, maka seorang calon guru harus dibekali dengan ketaqwaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, kepribadian yang luhur serta kuat, dan pengetahuan teori dan praktek kependidikan dan keguruan yang menjadi spesialisasinya. Khusus untuk guru agama, disamping kualitas di atas, perlu pula disyaratkan bahwa dia harus meyakini dan mengamalkan agama yang diajarkannya.
Sumber :
- Buku "Kepribadian Guru" halaman 16-21, oleh Dr. Zakiah Daradjat, cetakan 1980, penerbit Bulan Bintang - Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar