A. Pendahuluan
Upaya pembaharuan pendidikan harus dilakukan secara terus menerus
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan
ekonomi, dan perubahan dalam masyarakat. Khususnya pada pendidikan
kejuruan, telah banyak upaya pembaharuan penyelenggaraan pendidikan di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dilakukan selama ini. Namun,
berdasarkan hasil-hasil kajian, pengamatan, dan penelitian, upaya
pembaharuan tersebut banyak menghadapi kendala-kendala di lapangan, yang
perlu dicari alternatif pemecahannya.
Pembaharuan pola penyelenggaraan pendidikan di SMK dimulai sejak
dilaksanakan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) tahun 1994, dan dilengkapi
dengan sejumlah perangkat pelaksanaannya. Dalam perkembangan
selanjutnnya, pelaksanaan PSG lebih dimantapkan lagi dengan menggunakan
acuan yang lebih mendasar yaitu yang tertulis dalam buku “Keterampilan
Menjelang 2020 untuk Era Global” yang disusun oleh Satuan Tugas
Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan di Indonesia, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1997). Kemudian, penyelenggaraan PSG
dibakukan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor
323/U/1997 tentang Penyelenggaraan Sistem Ganda pada Sekolah Menengah
Kejuruan tanggal 31 Desember 1997, yang memuat komponen-komponen yang
diperlukan dalam penyelenggaraan PSG. Inti dari “gerakan” ini adalah
upaya untuk mendekatkan pendidikan kejuruan ke dunia usaha/industri.
Dari aspek kurikulum, terjadi perubahan karakteristik dari Kurikulum
SMK Tahun 1994 menjadi Kurikulum SMK Edisi 1999. Perbedaan kedua
kurikulum tersebut terletak pada: pendekatan, struktur program, periode
ajaran, dan evaluasi. Pertama, Kurikulum SMK Tahun 1994 menggunakan
pendekatan competency based, sedangkan Kurikulum Edisi 1999 menggunakan pendekatan kombinasi competency based dan broad based.
Kedua, struktrur program Kurikulum SMK Tahun 1994 terdiri dari program
umum dan program kejuruan, sementara itu Kurikulum SMK Edisi 1999
terdiri dari program normatif, program adaptif, dan program produktif.
Ketiga, pembelajaran menurut Kurikulum SMK 1994 disajikan dalam periode
catur wulan, sedangkan Kurikulum 1999 disajikan dalam sistem semester.
Keempat, evaluasi Kurikulum 1994 dilaksanakan secara parsial, sebaliknya
pelaksanaan Kurikulum 1999 akan dievaluasi secara menyeluruh.
Dalam pelaksanaan PSG, kendala dirasakan oleh kedua belah pihak,
yaitu sekolah dan industri (Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan,
1996). Disebutkan bahwa kendala yang dihadapi oleh sekolah antara lain:
(1) keragaman geografis, (2) keragaman kesiapan dan tingkat kemajuan
SMK, dan (3) keragaman program SMK yang belum seimbang dengan keragaman
industri di sekitarnya. Selanjutnya, kendala yang dirasakan oleh
industri antara lain: (1) belum dimiliki struktur jabatan dan keahlian
yang mantap, terutama pada industri kecil, dan menengah, (2) belum ada
perencanaan alokasi biaya untuk pengembangan pendidikan, (3) belum
dimilikinya persepsi tentang keuntungan PSG bagi industri, dan (4)
kurangnya kesadaran tentang peningkatan keefektifan, efisiensi, dan
kualitas dalam pelaksanaan pelatihan di industri. Sementara itu, menurut
hasil penelitian Sonhadji, dkk. (1997), pelaksanaan PSG menghadapi
kendala-kendala, aptara lain sebagai berikut: (1) pendelegasian tugas
dan tanggung jawab di antara perangkat organisasi Pokja PSG belum
merata, dan ada kecenderungan dominan pada Ketua Pokja, (2) guru
pembimbing belum berfungsi secara optimal di industri, dan diantara
mereka ada yang tidak relevan dengan bidangnya, (3) kesulitan menjalin
kerjasama dengan institusi pasangan yang tergolong menengah dan besar,
(4) rendahnya manajemen pengelolaan pelatihan siswa oleh industri,
terutama pada industri kecil, (5) instruktur di industri banyak yang
tidak memenuhi persyaratan serta belum berperan secara efektif, (6)
masih banyak siswa yang mencari sendiri tempat pelatihan industri, (7)
kurangnya waktu yang disediakan Majelis Sekolah untuk berkoordinasi, (8)
lamanya pengurusan perijinan dan permohonan pelatihan, (9) kurangnya
disiplin dan rendahnya kepedulian siswa terhadap keselematan kerja, dan
(10) tidak berimbangnya antara jumlah SMK dan jumlah dunia
usaha/industri. Dari temuan-temuan di atas dapat disebutkan bahwa
pelaksanaan PSG selama ini mengalami kendala-kendala struktural,
geografis, potensi teknologis, psikologis, akademis, manajerial, dan
kultural.
B. Konsep PSG
Link and match adalah kebijakan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia yang dikembangkan untuk meningkatkan
relevansi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu relevansi dengan
kebutuhan pembangunan umumnya dan kebutuhan dunia kerja, dunia usaha
serta dunia industri khususnya. Beberapa prinsip yang akan dipakai
sebagai strategi dalam kebijakan Link and Match diantaranya adalah model penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda (PSG).
PSG pada dasarnya merupakan suatu bentuk
penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara
sistematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan program
penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di
dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional
tertentu. Pada hakekatnya PSG merupakan suatu strategi
yang mendekatkan peserta didik ke dunia kerja dan ini adalah strategi
proaktif yang menuntut perubahan sikap dan pola pikir serta fungsi
pelaku pendidikan di tingkat SMK, masyarakat dan dunia usaha/industri
dalam menyikapi perubahan dinamika tersebut.
Bila pada pendidikan konvensional, program pendidikan direncanakan,
dilaksanakan dan dievalusi secara sepihak dan lebih bertumpu kepada
kepemimpinan kepala sekolah dan guru, maka pada PSG
program pendidikan direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi bersama
secara terpadu antara sekolah kejuruan dengan institusi pasangannya,
sehingga fungsi operasional dilapangan dilaksanakan bersama antara
kepala sekolah, guru, instruktur dan manager terkait, untuk itu perlu
diciptakan adanya keterpaduan peran dan fungsi guru serta instruktur
sebagai pelaku pendidikan yang terlibat langsung dalam pelaksanaa PSG dilapangan secara kondusif.
Menurut Dikmenjur (1994 : 19), kualitas guru tetap memegang peranan
kunci, oleh sebab itu program Pendidikan Menengah Kejuruan (SMK) akan
dilaksanakan dengan kegiatan pokok peningkatan mutu dan relevansi,
diantaranya melalui peningkatan mutu, karena itu program penataran guru
akan tetap penting, terutama dalam meningkatkan kemampuan professional
guru yang akan dilaksanakan melalui penataran yang memakai pendekatan “ production. Training “ Serta peningkatan penataran dalam bentuk “ on the job training” di industri.
Hal tersebut menunjukkan, bahwa peranan dan fungsi guru dalam PSG merupakan salah satu parameter terhadap keberhasilan pelaksanaanya sebagaimana dinyatakan pranarka (1991), bahwa “
peran gurulah pelaksana utama di medan pendidikan aktual “. Menurut
T. Raka Joni (1991) tugas guru adalah teramat penting, secara makro
tugas itu berhubungan dengan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
pada akhirnya akan menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa
karenanya Nana Sujana (1989 : 12) menyatakan, bahwa kehadiran guru
dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) tetap memegang peranan penting dan
belum dapat digantikan oleh alat secanggih apapun. Gambaran oleh pakar
pendidikan tersebut dapat dipahami, sebab masih terlalu banyak
unsur-unsur manusiawi seperti sikap, system nilai perasaan, motivasi,
kebiasaan, kesiapan dan lainnya yang diharapkan merupakan hasil proses
pengajaran.
Fenomena tersebut menunjukkan, bahwa dalam suatu proses pendidikan,
keprofesionalan sangat iperlukan, lebih tegas Pranarka (1991)
menyatakan, bahwa “para guru sebagai perwira- perwira tempur didalam
medan pendidikan yang aktual”.
Ini mengisyaratkan bahwa keprofesionalan guru betul-betul diharapkan
sebagai pelaksanaan pendidikan dalam proses belajar mengajar sehingga
proses dari pendidikan tersebut peserta didik memiliki kesiapan dan
kemampuan dalam dunia yang nyata dan ini sejalan dengan tujuan PSG
yaitu menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian professional,
yakni tenaga kerja yang memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan dan
etos kerja yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja” (Aburizal
Bakrie,1996:8).
Dalam upaya merealisasikan kebijakan link and match melalui pelaksanaan PSG,
selain diperlukan guru SMK yang profesional serta instruktur yang
mewakili dunia usaha / industri yang profesional pula. Instruktur dalam PSG memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam menentukan keberhasilan peserta PSG. Menurut slamet PH. (1997) tugas instruktur dalam PSG antara lain adalah
memberikan bimbingan, pengarahan, melatih, memotivasi dan menilai peserta PSG, oleh karenanya instruktur dituntut mampu memahami aspek-aspek pendidikan dan pengajaran.
Dari uraian diatas, diketahui bahwa salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan pelaksanaan PSG
adalah guru dan instruktur, oleh sebab itu baik guru maupun instruktur
dituntut memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melaksanakan
peran dan fungsinya masing-masing dalam PSG, hal ini
senada dengan pernyataan T. Raka Joni (1991) bahwa diluar lapisan tenaga
propesional untuk bidang-bidang ajaran yang memiliki kandungan
keterampilan tinggi, penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang
efektif dan efisien mempersyaratkan peran serta instruktur.”
Namun demikian kenyataan yang ada menunjukkan, bahwa guru dan
instruktur belum sepenuhnya memiliki kemampuan yang dipersyaratkan dalam
melaksanakan PSG, sebagaimana dinyatakan Dikmenjur (1997).
Bahwa permasalahan yang dihadapi adalah guru pada saat ini belum
memiliki wawasan industri dan tenaga instruktur belum memiliki wawasan
kependidikan. Rusdiono (1999) menyebutkan bahwa alasan utama
melencengkan pelaksanaan PSG. Lebih jauh Rusdiono menyebutkan bahwa alasan utama melencengkan pelaksanaan PSG di Indonesia disebabkan oleh belum dipahaminya konsep/pengertian PSG oleh pihak sekolah.
Bertolak dari sejumlah permasalahan, tersebut apabila dicermati ada
satu permasalahan yang perlu dikaji lebih mendalam sebab masalah itu
dihadapi baik oleh guru maupun instruktur, yakni tentang kemampuan
membimbing siswa PSG.
Kemampuan (kompetensi) guru dan instruktur dalam membimbing siswa PSG adalah salah satu tugas dan tanggung jawab mendidik yang paling esensi terutama dalam pelaksanaan PSG. Kemampuan guru dan instruktur dalam membimbing siswa PSG
ini banyak dipengaruhi berbagai aspek, seperti pengetahuan, pengalaman,
minat, sikap, persepsi, wawasan latar belakang pendidikan dan faktor
lingkungan lainnya.
C. Peran Guru dan Instruktur dalam PSG
Menurut Dikmenjur (1997) guru dipandang sebagai ujung tombak yang
sangat menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda
(PSG), yang secara khusus guru dalam PSG didefinisikan sebagai berikut : “Guru PSG
adalah individu yang memiliki kemampuan kompetensi, profesi keguruan
atau pendidik secara dominan tetapi juga harus memiliki kompetensi
teknis keahlian tertentu dan memiliki jiwa enterpreneurship (Dikmenjur, 1997).
Dalam pelaksanaan PSG guru dipersyaratkan harus
memiliki sejumlah kompetensi atau kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk
melaksanakan keprofesiannya dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya sebagai guru PSG, oleh sebab itu Sahertian
(1994 : 54) menyatakan bahwa “yang dimaksud profil kompetensi ialah
penampilan guru dalam melakukan tugasnya yang memiliki syarat sesuai
dengan kriteria kemampuan yang dipersyaratkan”.
Sehubungan dengan kemampuan guru dalam PSG, Dikmenjur (1997) menjelaskan kompetensi profesi guru dalam PSG
adalah sebagai berikut : (a) Mampu mengorganisasikan program
pembelajaran di SMK yang kondusif, (b) Mampu memberikan inovasi dan
motivasi kerja kepada siswa, (c) Mampu menguasai keahlian baik secara
teknis maupun secara teoritis, (d) Mampu menguasai emosi sehingga
menjadi suri teladan oleh siswa dan kawan seprofesi, (e) Mampu
berkomunikasi dan berjiwa enterpreneurship.
Berdasarkan dari sejumlah unsur kompetensi guru dalam PSG seperti tersebut diatas, maka salah satu kemampuan yang diperlukan dari guru dalam melaksanakan program PSG diantaranya adalah “ kemampuan membimbing “ siswa PSG,
referensi-referensi yang menekankan pentingnya guru memiliki kemampuan
membimbing adalah seperti yang dinyatakan oleh Nana Sujana (1989), bahwa
dari sepuluh kompetensi guru menurut PSG Depdiknas guru harus mengenal fungsi layanan bimbingan dan penyuluhan.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa guru harus memiliki kemampuan
membimbing dalam kegiatan proses belajar mengajar sehingga pengajaran
berlangsung dengan efektif, hal yang sama seperti yang dinyatakan oleh
Nolker (1988), Sukamto (1988), Sahertian (1994), Soekartawi dan Sardiman
(1997) serta Soedijarto (1997), bahwa salah satu profil seorang guru
adalah mempunyai keahlian dalam memberikan bimbingan kepada siswa
didiknya.
Instruktur yang diidentikan sebagai pengajar praktik (Nolker, 1998)
dan menurut T. Raka Joni (1991) instruktur ialah tenaga pengajar bantu
yang bertugas melatih secara intensif keterampilan.
Dalam PSG didefinisikan sebagai berikut : “ instruktur PSG adalah individu yang telah menguasai keahlian / kompetensi tertentu dan telah memiliki kemampuan enterpreneurship, secara dominan tetapi juga dituntut untuk memiliki kompetensi kejuruan (Dikmenjur, 1997)”.
Menurut Nolker (1998 : 173) “ Instruktur memberikan bimbingan ahli
bagi peserta didik dalam melakukan pekerjaan latihan serta memberikan
petunjuk-petunjuk praktis, sesuai dengan perkembangan teknologi
mutakhir. “ selanjutnya Nolker (1988) menyebutkan, bahwa instruktur juga
menyiapkan pertemuan pengajaran dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip
didaktik dan ia juga memberikan nilai terhadap hasil pekerjaan latihan
dan berperan serta dalam penyelenggaraan ujian.
Bertolak dari kemampuan guru dan instruktur dalam membimbing siswa PSG,
menurut Yusuf Gunawan (1992), dan Sukardi (1995), bahwa membimbing
adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis
dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam
pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan dalam
mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan
lingkungan. Winkel (1981), lebih rinci menguraikan bahwa “bimbingan (guidance) mempunyai hubungan dengan guiding : Showing a Way (menunjukkan jalan), conducting (menuntun), giving instruction (memberikan petunjuk), regulating (mengatur) governing (mengarahkan), giving advice (memberikan nasehat)”.
Pada pelaksanaan PSG, guru dan instruktur dalam
memberikan bimbingan kepada siswa yang melaksanakan praktik industri,
tentunya kegiatan membimbing itu sendiri lebih difokuskan kepada
kegiatan memimpin, mengarahkan, menuntun dan memberikan petunjuk atau
penjelasan yang secara khusus berhubungan dengan kegiatan PSG, sehingga dengan demikian seluruh potensi yang dimiliki siswa PSG dapat dioptimalkan sedemikian rupa mengarah kepada pencapaian PSG.
Menurut Sukamto (1988) guru bertugas membimbing anak didik
mengembangkan rasa tanggung jawab dan disiplin, dengan memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan minat mereka pada tingkat – tingkat usia tertentu,
menurut piters yang dikutif Nana Sudjana (1989) tugas dan tanggung jawab
guru sebagai pembimbing memberikan tekanan pada tugas (aspek mendidik)
dan memberi bantuan kepada siswa dalam memecahkan masalah – masalah yang
dihadapinya.
Senada dengan itu Imam Syafe’ie (1992) menyatakan, bahwa guru sebagai
pembimbing membantu siswa agar mampu mengarahkan dan menyesuaikan diri
pada lingkungan kehidupannya, ini berarti guru hendaknya mampu membantu
siswa untuk mengubah dan memecahkan masalah melalui proses hubungan
interpersonal.
Selanjutnya Soedijarto (1997) menyebutkan, bahwa bagi para pendidik
yang professional harus mampu menggunaka segala pengetahuan baik teori, konsep,
definisi, disiplin ilmu, penilaian dan teknologi pendidikan untuk
memecahkan masalah kependidikan, terutama dalam tanggung jawabnya
membimbing peserta didik mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pernyataan di atas menjelaskan salah satu tugas guru dalam Proses
Belajar Mengajar (PBM) yang mengandung keterampilan, guru dalam
melaksanakan tugasnya tersebut dapat dibantu oleh instruktur seperti
yang dinyatakan oleh T Raka Joni (1991), bahwa “ diluar lapisan tenaga
professional, untuk bidang-bidang ajaran yang memiliki kandungan yang
tinggi, penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang efektif dan
efisien akan mempersyaratkan peran serta instruktur yang bertugas
melatih secara intensif keterampilan”.
Guru dan instruktur dalam melaksanakan tugasnya sebagai pembimbing siswa PSG,
selain memiliki kemampuan membimbing, secara umum dalam pelaksanaan
program praktik dasar maupun praktik keahlian produktif dituntut
memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Dikmenjur (1997), yaitu : memiliki kepedulian terhadap upaya peningkatan
mutu pendidikan pada SMK, memiliki pengetahuan dan keterampilan
memiliki sikap dan etos kerja serta dedikasi yang tinggi terhadap bidang
pekerjaan/profesinya, memiliki wawasan dunia kerja, peka terhadap
perkembangan IPTEKS, menghargai profesinya maupun profesi lainnya dan interpersonal communication.
Dengan memiliki sejumlah persyaratan seperti diatas, maka baik guru
kejuruan maupun instruktur diharapkan mampu melaksanakan tugas
pembimbingan terhadap siswa PSG dengan baik, terarah dan efektif. Dikmenjur (1997) menjelaskan tentang ruang lingkup tugas pembimbing PSG,
baik pada waktu siswa melakukan praktik dasar kejuruan maupun
melaksanakan praktik keahlian pada lini produksi didunia usaha /
industri, yaitu : (1) Menyeleksi calon peserta calon PSG, (2) Mengkondisikan siswa peserta PSG,
(2) Melatih dan membimbing secara sistematis pada program praktik dasar
dan praktik keahlian produktif pada lini produksi, (3) Menilai secara
kontinyu terhadap sikap dan kinerja praktik, (4) Menguji pada waktu
ujian kompetensi, (5) Memberikan motivasi kerja dan (6) Memberikan
peringatan atau hukuman.
Pemahaman (comprehension) dapat diartikan menguasai sesuatu
dengan pikiran, memahami maksudnya dan menangkap maknanya (Sardiman,
1997). Pemahaman memiliki arti sangat mendasar yang meletakkan
bagian-bagian belajar pada proporsinya, oleh sebab itu pemahaman tidak
sekedar tahu, tetapi juga menghendaki agar subjek belajar dapat
memanfaatkan bahan-bahan yang telah dipahaminya. Fenomena ini
menunjukkan bahwa pemahaman merupakan unsur psikologis yang penting
dalam proses belajar-mengajar.
D. Pelaksanaan Prakerin
1. Pengertian Prakerin
Praktik Kerja Industri yang disingkat dengan “prakerin”
merupakan bagian dari program pembelajaran yang harus dilaksanakan oleh
setiap peserta didik di Dunia Kerja, sebagai wujud nyata dari
pelaksanaan sistim pendidikan di SMK yaitu Pendidikan Sistim Ganda
(PSG). Program prakerin disusun bersama antara sekolah dan dunia kerja
dalam rangka memenuhi kebutuhan peserta didik dan sebagai kontribusi
dunia kerja terhadap pengembangan program pendidikan SMK.
Dengan prakerin peserta didik dapat menguasai sepenuhnya aspek-aspek
kompetensi yang dituntut kurikulum, dan di samping itu mengenal lebih
dini dunia kerja yang menjadi dunianya kelak setelah menamatkan
pendidikannya.
2. Prinsip-prinsip Pendidikan Kejuruan (Charles Prosser)
Keberhasilan pendidikan kejuruan / SMK diukur dari tingkat
keterserapan tamatan di dunia kerja. Untuk mencapai hal tersebut
berbagai usaha dilakukan oleh SMK melalui peningkatan mutu pembelajaran.
Dalam desain pembelajaran perlu memperhatikan prinsip-prinsip
pembelajaran sebagai berikut:
- Efisien jika lingkungan dimana siswa dilatih merupakan replika lingkungan dimana nanti bekerja
- Efektif jika tugas-tugas diklat dilakukan dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu.
- Efektif jika melatih kebiasaan berpikir dan bekerja seperti di DuDi
- Efektif jika setiap individu memodali minatnya, pengetahuan dan ketrampilannya pada tingkat yang paling tinggi
- Efektif untuk setiap profesi, jabatan, pekerjaan untuk setipa orang yang menginginkan dan memerlukan dan dapat untung
- Efektif jika diklat membentuk kebiasaan kerja dan kebiasaan berfikir yang benar diulang sehingga sesuai/cocok dengan pekerjaan
- Efektif jika GURUnya mempunyai pengalaman yang sukses dalam penerapan kompetensi pada operasi dan proses kerja yang telah dilakukan.
- Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai oleh seseorang agar dia dapat bekerja pada jabatan tersebut
- Pendidikan Kejuruan harus memperhatikan permintaan pasar / tanda-tanda pasar
- Pembiasaan efektif pada siswa tercapai jika pelatihan diberikan pada pekerjaan nyata sarat nilai
- Isi diklat merupakan okupasi pengalaman para ahli
- Setiap okupasi mempunyai ciri-ciri isi (Body of content) yang berbeda-beda satu dengan lainnya
- Sebagai layanan sosial efisien jika sesuai dengan kebutuhan seseorang yang memerlukan
- Pendidikan Kejuruan efisien jika metoda pengajarannya mempertimbangkan sifat-sifat peserta didik
- Pembiasaan efektif pada siswa tercapai jika pelatihan diberikan pada pekerjaan nyata sarat nilai
3. Tujuan Prakerin
a. Pemenuhan Kompetensi sesuai tuntutan Kurikulum
Penguasaan kompetensi dengan pembelajaran di sekolah sangat
ditentukan oleh fasilitas pembelajaran yang tersedia. Jika ketersediaan
fasilitas terbatas, sekolah perlu merancang pembelajaran kompetensi di
luar sekolah (Dunia Kerja mitra). Keterlaksanaan pembelajaran kompetensi
tersebut bukan diserahkan sepenuhnya ke Dunia Kerja, tetapi sekolah
perlu memberi arahan tentang apa yang seharusnya dibelajarkan kepada
peserta didik.
b. Implementasi Kompetensi ke dalam dunia kerja
Kemampuan-kemampuan yang sudah dimiliki peserta didik, melalui
latihan dan praktik di sekolah perlu diimplementasikan secara nyata
sehingga tumbuh kesadaran bahwa apa yang sudah dimilikinya berguna bagi
dirinya dan orang lain. Dengan begitu peserta didik akan lebih percaya
diri karena orang lain dapat memahami apa yang dipahaminya dan
pengetahuannya diterima oleh masyarakat.
c. Penumbuhan etos kerja/Pengalaman kerja.
SMK sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan dapat menghantarkan
tamatannya ke dunia kerja perlu memperkenalkan lebih dini lingkungan
sosial yang berlaku di Dunia Kerja. Pengalaman berinteraksi dengan
lingkungan Dunia Kerja dan terlibat langsung di dalamnya, diharapkan
dapat membangun sikap kerja dan kepribadian yang utuh sebagai pekerja.
4. Desain Program/ Pelaksanaan Prakerin
Perancangan program prakerin tidak terlepas dari implementasi silabus
ke dalam pembelajaran, yang membutuhkan metode, strategi dan evaluasi
pelaksanaan yang sesuai.
Rancangan prakerin sebagai bagian pembelajaran perlu memperhatikan
kesiapan Dunia Kerja mitra dalam melaksanakan pembelajaran kompetensi
tersebut. Hal ini diperlukan agar dalam pelaksanaannya, penempatan
peserta didik untuk prakerin tepat sasaran sesuai dengan kompetensi yang
akan dipelajari. Diagram di bawah menunjukkan alur kerja perancangan
program prakerin.
Diagram Alir Prakerin
Dari diagram di atas menunjukkan bahwa dalam perancangan program
prakerin perlu dilakukan analisis terhadap kemampuan-kemampuan yang
harus dikuasai peserta didik berdasarkan tuntutan standar kompetensi/
kompetensi dasar yang tertera dalam silabus. Analisis dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi kompetensi apa saja yang dapat dipelajari di
sekolah dengan fasilitas yang tersedia dan kompetensi apa saja yang
dipelajari di dunia kerja.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai berikut:
a. Analisis Pencapaian Kompetensi Hasil Pembelajaran di Sekolah
Keseluruhan kompetensi dalam Kurikulum menjadi target utama yang
harus dikuasai oleh peserta didik selama waktu pembelajaran di SMK.
Keterbatasan fasilitas pembelajaran praktik di sekolah, perlu disiasati
dengan pemanfaatan fasilitas Dunia Kerja mitra untuk pemenuhannya.
Untuk kepentingan tersebut perlu dilakukan analisis terhadap
keseluruhan kompetensi yang didasarkan kepada fasilitas pembelajaran
yang dibutuhkan. Dengan langkah ini akan dapat diketahui apakah
keseluruhan fasilitas sudah tersedia di sekolah atau tidak.Contoh format
analisis dapat dilihat seperti dibawah ini.
Program Keahlian :
Kelas / Smester :
SK | KD | Sumber daya yang dibutuhkan | Pelaksanaan di sekolah | Pelaksanaan di Dunia Kerja |
A | A1 | |||
A2 | ||||
A3 | ||||
A4 | ||||
dst | ||||
B | ||||
dst |
Berdasarkan inventarisasi kemampuan-kemampuan yang dapat dibelajarkan
di sekolah, maka akan terlihat dengan jelas kemampuan apa saja yang
harus dibelajarkan kepada peserta didik melalui prakerin.
Data-data tersebut digunakan sebagai bahan untuk menyusun jurnal kerja yang akan dibawa peserta didik pada saat prakerin.
b. Pemetaan Dunia Kerja
Pemetaan Dunia Kerja sangat penting dilakukan sebelum program
prakerin dirancang. Hal ini dimaksudkan agar Dunia Kerja yang dijadikan
mitra benar-benar sesuai dengan program keahlian yang sedang ditekuni
oleh peserta didik sehingga tujuan prakerin tercapai dengan baik.
Pemetaan Dunia Kerja dilakukan dengan cara melakukan inventarisasi
Dunia Kerja melalui media masa/brosur yang dilanjutkan dengan kunjungan
langsung/survei, atau dengan cara lain yang dianggap tepat.
Dunia kerja seperti apakah yang dapat dijadikan mitra oleh sekolah ?
Secara umum dunia kerja yang dapat dilibatkan dalam program prakerin
adalah dunia kerja dengan skala regional, nasional atau multinasional,
bahkan perusahaan kecil sekalipun. Karena dalam kenyataannya justru
perusahaan berskala kecil lebih memberikan perhatian pada pembelajaran.
Dengan kata lain perusahaan berskala kecil cenderung lebih terbuka
dibandingkan dengan perusahaan besar.
Untuk menginventarisasi Dunia Kerja dapat menggunakan format seperti contoh berikut:
Nama Dunia Kerja :
Alamat :
Bidang Pekerjaan :
JENIS PRODUK | KEMAMPUAN KERJA YANG DIBUTUHKAN | FASILITAS YANG DIMILIKI | DAYA TAMPUNG |
A | |||
B | |||
dst |
c. Menyusun Program Prakerin
Dalam penyusunan program prakerin sebaiknya memperhatikan karakteristik:
1) Program menunjukkan asumsi bahwa situasi belajar adalah di tempat kerja
2) Program dapat menerima konteks berbagai perbedaan, mencakup
perbedaan individu sebagai peserta didik yang berbeda inspirasi,
termasuk di dalamnya perbedaan kultur dan perbedaan pengetahuan.
3) Program harus fleksibel tidak hanya pada satu situasi, akan
tetapi mempertimbangkan perbedaan pada butir 2. Karena setiap hari
pekerjaan mengalami perubahan dan peserta didik dapat menyesuaikan
perubahan yang terjadi.
4) Program akan selalu memiliki perbedaan dengan berbagai
tingkatan atau level, seperti perbedaan tuntutan dunia kerja dengan
tuntutan sekolah.
Berdasarkan karakteristik program di atas dan hasil analisis,
kesenjangan antara kemampuan-kemampuan yang didapatkan peserta didik di
sekolah dan Dunia Kerja, dimasukkan ke dalam sebuah format untuk
mengidentifikasi kemampuan-kemampuan tersebut sesuai kompetensi kerja
yang dimiliki oleh masing-masing Dunia Kerja mitra. Untuk mempermudah
identifikasi dapat dibuat format seperti contoh di bawah ini.
Format penetapan pemenuhan kompetensi sesuai dengan Dunia Kerja mitra.
SK | KD | Dunia Kerja yang sesuai | Ket | ||||
A | B | C | D | E | |||
A | |||||||
B | |||||||
C | |||||||
dst |
Dari peta kompetensi Dunia Kerja yang dimiliki oleh sekolah, dan
kemampuan yang harus dipelajari di Dunia Kerja, selanjutnya disusun
jurnal prakerin yang menjadi pegangan peserta didik pada saat
melaksanakan prakerin dimaksud. Contoh jurnal prakerin dapat dilihat
seperti di bawah ini.
JURNAL PRAKERIN
SMK NEGERI/SWASTA SELAYANG PANDANG
Nama Peserta Didik :
Smester :
Nama Dunia Kerja : A
Alamat :………
Waktu Pelaksanaan :……….
SK | KD | Bentuk Pekerjaan | Tanggal Pelaksanaan | Tanda Tangan Pembimbing |
A | ||||
B | ||||
dst |
Keterangan:
- Bentuk pekerjaan/barang yang akan dikerjakan di dunia kerja dirancang sesuai dengan jenis produk yang dihasilkan dunia kerja mitra.
- Pekerjaan/barang merupakan gabungan dari beberapa kemampuan dari satu atau lebih standar kompetensi.
d. Implementasi
1) Waktu Pelaksanaan
Prakerin dapat dilaksanakan sesuai dengan pembelajaran kompetensi
yang direncanakan akan diberikan di dunia kerja. Di samping itu perlu
juga mengadakan komunikasi dengan dunia kerja,dengan tujuan untuk
memastikan kesiapan dunia kerja dan pembimbing, menerima peserta
prakerin sesuai kompetensi yang diharapkan.
2) Pembekalan Peserta Didik
Peserta didik yang akan melaksanakan prakerin harus diberikan
pembekalan terlebih dahulu tentang program yang akan dilaksanakan
sehingga betul-betul memahami apa yang harus mereka lakukan di Dunia
Kerja. Hal-hal yang menjadi fokus pembekalan antara lain:
1) Pelaksanaan program prakerin yang dituangkan di dalam jurnal yang mereka bawa.
2) Tata tertib/aturan yang berlaku di Dunia Kerja dimana mereka berada.
3) Menjaga/memelihara nama baik sekolah.
3) Pembimbing
Pembimbing terdiri dari pembimbing internal yaitu guru produktif yang
bertanggung jawab terhadap pembelajaran kompetensi, dan pembimbing
eksternal yaitu staf dari Dunia Kerja yang sekaligus bertindak selaku
instruktur pembimbing yang mengarahkan peserta didik dalam melakukan
pekerjaannya.
4) Laporan
Semua kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik selama di Dunia
Kerja baik yang ada dalam jurnal ataupun pekerjaan lain yang diberikan
oleh instruktor pembimbing eksternal harus dicatat dan didokumentasikan
sebagai bahan untuk melakukan evaluasi terhadap program prakerin.
Seluruh kegiatan harus diketahui oleh pembimbing dengan cara membubuhkan
tanda tangan pada kolom yang tersedia.
7. Evaluasi Program Dan Tindak Lanjut
1). Evaluasi Program
Program prakerin yang sudah dilakukan peserta didik perlu dievaluasi
untuk melihat kesesuaian antara program dengan pelaksanaannya. Hal ini
dimaksudkan sebagai dasar untuk penyusunan program tindak lanjut yang
harus dilakukan baik terhadap pencapaian kompetensi peserta didik maupun
terhadap program prakerin.
Evaluasi dilakukan dengan cara:
a) melakukan analisis hasil laporan yang dibuat oleh peserta
didik dan hasil penilaian yang yang dilakukan oleh pembimbing dari Dunia
Kerja.
b) paparan hasil prakerin setiap peserta didik
2). Tindak Lanjut
Agar sekolah mendapatkan nilai tambah dari pelaksanaan prakerin, maka
sekolah dapat mengumpulkan seluruh peserta prakerin sesuai dengan
program kehliannya, untuk berbagi pengalaman tentang berbagai hal yang
mereka dapatkan di dunia kerja, baik yang berhubungan lansung dengan
bidang pekerjaannya maupun yang berkaitan dengan kehidupan sosial di
lingkungan tempat pelaksanaan prakerin.
Kegiatan ini bertujuan untuk:
a) Melatih peserta didik memecahkan masalah melalui proses berbagi pengalaman dalam bidang pekerjaan yang sama.
b) Memperkaya pengalaman-pengalaman peserta didik dengan
menyerap pengalaman orang lain, khususnya yang sesuai dengan bidang
pekerjaannya.
c) Memberikan informasi kepada sekolah mengenai kondisi nyata
pelaksanaan prakerin, menjadi bahan pertimbangan untuk peningkatan
program prakerin selanjutnya.
Pelaksanaan diskusi:
a) Membagi peserta didik dalam kelompok kecil pada program keahlian yang sama dan memberikan topik diskusi. Misalnya; “Hambatan-hambatan yang dialami selama melaksanakan prakerin”.
b) Menunjuk seorang ketua kelompok untuk mengatur jalannya proses diskusi.
c) Setiap anggota kelompok menyampaikan pengalaman-pengalamannya, yang berkaitan dengan masalah berikut solusinya.
Setelah diskusi:
a) Ketua kelompok membuat kesimpulan tentang jalannya diskusi.
b) Melaporkan hasil diskusi dalam bentuk tertulis sesuai dengan topik yang diberikan.
Dari masukan hasil diskusi peserta didik dan analisis antara program
serta penilaian pembimbing Dunia Kerja, disimpulkan menjadi satu rumusan
yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa peserta didik
yang bersangkutan sudah menyelesaikan seluruh aspek kompetensi,
sehingga berhak untuk mengikuti uji kompetensi dan sertifikasi serta
perbaikan program prakerin selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
- Direkturat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, 2009, Bahan bimbingan teknis (Bimtek) Peningkatan Mutu SMK ” Pelaksanaan Prakerin”, Jakarta
- http://www.depdiknas.go.id/sikep/Issue/SENTRA1/F40.html, Ahmad Sonhadji K.H., Alternatif Penyempurnaan Pembaharuan Penyelenggaraan Pendidikan Di Sekolah Menengah Kejuruan, diunduh tanggal 5 Oktober 2009
- http://galihsasongko.blogspot.com/2009_03_01_archive.html, diunduh tanggal 5 Oktober 2009
- http://pkk.upi.edu/invotec_33-39.pdf., Tatang Permana, Pemahaman Konsep PSG Dan Intensitas Bimbingan Terhadap Kemampuan Membimbing Siswa PSG, diunduh tanggal 5 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar