A. Pendahuluan
Guru merupakan profesi yang mengalami pasang surut dalam percaturan
dunia keprofesian. Kalaulah dulu guru dianggap profesi sakral,
membanggakan yang terlihat ketika dengan bangganya seorang yang bermantukan
seorang guru, tapi saat ini disinyalir menjadi profesi yang
termarginalkan. Ini terlihat dari banyaknya generasi penerus yang
sedikit bercita-citakan seorang guru. Mereka cenderung menjadikan
dokter, insinyur, pilot sebagai pilihan profesi di masa depan. Ada
berbagai macam alasan yang dikemukakan akibat ketidakmauan mereka, namun
yang jelas kesejahteraanlah yang menempati urutan pertama bagi
seseorang untuk tidak memilih guru sebagai profesinya.
Fenomena di atas disebabkan adanya pergeseran dalam memaknai profesi
seorang guru. Pergeseran ini disebabkan beberapa faktor, baik faktor
eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal diantaranya:
- Adanya sebagian pandangan masyarakat bahwa siapapun dapat menjadi guru asal dia berpengetahuan.
- Kekurangan guru di daerah terpencil memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian (mendidik) untuk menjadi guru.
- Banyak guru yang belum menghargai profesinya apalagi berusaha mengembangkan profesinya tersebut.
Sedangkan faktor internal yang dimaksud adalah adanya kelemahan yang
terdapat pada diri guru itu sendiri diantaranya rendahnya kompetensi
profesional mereka.
Kesemuanya itu telah menjadi wacana umum yang terus dicari
pemecahannya, terutama di akhir 2005 dengan akan disahkannya UU profesi
guru dan dosen. Namun demikian perlu disadari bersama, bahwa UU tersebut
bukan satu-satunya solusi yang dapat mendongkrak popularitas profesi
guru. Naiknya popularitas guru hanya akan terjadi bila guru secara pro
aktif meningkatkan kapasitasnya sebagai guru. Artinya, UU tersebut tidak
akan berdaya guna secara maksimal bila guru sendiri kurang greget dalam meningkatkan kualitas dia sebagai seorang guru.
B. Pembahasan
Kepribadian guru mempunyai kelebihan sendiri bila diterapkan dalam
kelas karena ia akan memberikan kecenderungan dan kesenangan yang
berbeda kepada murid. Namun ada juga yang mengatakan bahwa kepribadian
guru sulit ditemukan kadarnya dan tidak mudah untuk dicari batasannya
serta sulit juga untuk didefinisikan secara jamik dan manik.
Kepribadian juga diibaratkan sebagai magnit, listrik dan radio yang
tidak bisa diketahui kecuali setelah tahu bekasnya atau pengaruhnya.
Kepribadian ialah kumpulan sifat-sifat yang aqliah, jismiah, khalqiyah dan iradiah yang biasa membedakan seseorang dengan orang lain (Slamet Yusuf:37).
Dikatakan guru yang mahir adalah guru yang mampu untuk menundukkan
hati mereka dan mempengaruhi mereka dengan baik sehingga ia dapat
memerintah mereka dan berbicara dengan mereka. Maka dengan kepribadian
itu memungkinkan untuk mengarahkan mereka pada jalan yang lurus.
Umar bin Utbah (dalam Slamet Yusuf:39), berkata pada guru dari
anaknya sebagai berikut: “Hendaklah perbaikan pertama-pertama yang
engkau lakukan terhadap anak saya dilakukan dengan perbaikan dirimu maka
mereka akan tertuju padamu, yang mereka anggap naik adalah apa yang
engkau tinggalkan. Menurut Mr. Norman Mc. Munn (Slamet Yusuf:41),
kepribadian itu didapatkan dari latihan yakni dari kebiasaan dan
pendidikan yang sungguh-sungguh. Tokoh pendidikan dari Inggris, Sir T.
percy Nunn mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mendidik
kepribadian (Andreas Hafera, 2000).
Kepribadian itu bisa membangkitkan semangat, tekun dalam menjalankan
tugas, senang memberi manfaat kepada murid menghormati peraturan sekolah
sehingga membuat murid bersifat lemah lembut memberanikan mereka,
mendorong pada cinta pekerjaan, memajukan berfikir secara bebas tetapi
terbatas yang bisa membantu membentuk pribadi menguatkan kepribadian
menguatkan kehendak membiasakan percaya pada diri sendiri.
Suksesnya seorang guru tergantung dari kepribadian, luasnya ilmu
tentang materi pelajaran serta banyaknya pengalaman. Tugas seorang guru
itu sangat berat, tidak mampu dilaksanakan kecuali apabila kuat
kepribadiannya, cinta dengan tugas, ikhlas dalam mengerjakan, memelihara
waktu murid, cinta kebenaran, adil dalam pergaulan. Ada yang mengatakan
bahwa masa depan anak-anak di tangan guru dan di tangan gurulah
terbentuknya umat.
Ditulis Athiyah Al-Abrosy (dalam Slamet Yusuf:42) bahwasannya sifat-sifat yang seyogyanya dimiliki seorang guru:
Guru harus menjadi bapak sebelum ia menjadi pengajar.
- Hubungan guru dengan murid harus baik.
- Guru harus selalu memperhatikan murid serta pelajaran mereka.
- Guru harus peka terhadap lingkungan sekitar murid.
- Guru wajib menjadi contoh/teladan di dalam keadilan dan keindahan serta kemuliaan.
- Guru wajib ikhlas di dalam pekerjaannya.
- Guru wajib menghubungkan masalah yang berhubungan dengan kehidupan.
- Guru harus selalu membaca dan mengadakan penyelidikan.
- Guru harus mampu mengajar bagus penyiapannya dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya.
- Guru harus sarat dengan ide sekolah yang modern.
- Guru harus punya niat yang tetap.
- Guru harus sehat jasmaninya.
- Guru harus punya pribadi yang mantap.
Guru ditempatkan pada tempat yang mulia sesuai dengan hadits Nabi.
Pada suatu hari, Rasulullah keluar rumah kemudian beliau melihat 2
majelis. Majelis yang satu terdiri dari orang yang berdoa kepada Allah
dan mengharap kepadanya. Majelis yang kedua terdiri dari orang yang
mengajarkan agama kepada manusia. Beliau bersabda adapun yang itu (yang
pertama) mereka memohon kepada Allah jika Dia berkenan mereka akan
diberi dan Dia juga berkenan untuk tidak memberi. Dan yang itu (kedua)
mereka mengajari manusia, dan bahwasannya aku diutus hanya untuk
mengajar. Kemudian beliau maju dan ikut duduk pada kelompok yang kedua.
Dengan demikian Nabi yang mulia telah membuat sebaik-baik contoh buat
kita agar menjadi pengajar dan pendorong dalam mengajar dan mengakui
keutamaannya.
Demikian juga yang dikatakan Martin Luther: “jika aku diberi waktu
untuk meninggalkan tugas memberi nasihat dan memberi petunjuk pasti aku
akan memilih profesi sebagai pengajar.
Ucapan Bismark: “sungguh kami telah dipengaruhi oleh guru.” Senada
dengan itu Iramus dalam ucapannya: “berilah aku kantor untuk guru dan
aku berjanji dengan hati seorang berilmu.” Sedangkan Syauki Bik:
“berdiri dan hormatilah guru dan berilah ia penghormatan.”Hampir-hampir
saja seorang guru itu merupakan utusan.
“Hai Ben Sherira, curahkanlah segenap tenagamu untuk mengajar
anak-anakmu sewaktu masih kecil dan berikanlah hadiah kepada guru atas
jasanya karena apa yang kamu beriakan adalah diberikan untuk
anak-anakmu,” ungkap Ustadz Al Alim Al Muhiqq Ahmad Amin,
Mengajar adalah pekeejaan yang memayahkan, tidak mendatangkan harta
dan tidak memperoleh pangkat. Mengajar itu hanya pantas dan bagus bagi
orang yang Qona’ah terhadap masalah dunia dengan hidup sederhana dan dalam pembagian rizki yang sangat sempit. Guru yang fasid adalah
guru yang menjadikan harta dan pangkat sebagai tujuan utama dan
mengharapkan keduniaan. Mengajar adalah pekerjaan jiwa. Guru itu
menciptakan dirinya dan amalnya ke langit, keluarganyalah yang
menariknya ke bumi dengan kekerasan.
Apakah dia rela berkorban seperti berkorbannya tentara? Apakah dia
siap menerima kenyataan untuk betapa seperti pendeta? Apakah dia siap
berhibur dengan harta ma’nawi untuk meninggalkan yang materi dan membentuk dirinya sebagai orang berilmu yang qona’ah serta menempatkan kelezatan-kelezatan akal dan kelezatan rohani pada kelezatan badan?”
Seorang penulis Inggris (dalam Slamet Yusuf:32) mengatakan:
“kurikulum, peraturan sekolah, bangunan-bangunan yang besar dan megah
dalam pendidikan dan pengajaran tidaklah lebih penting dari guru, karena
guru mempunyai pengaruh besar di hadapan siswa dari ilmunya, etikanya,
perbuatannya dan keterampilannya.
Fesyar pernah menyerukan tahun 1017 (dalam Slamet Yusuf: 35) bahwa
guru seharusnya sudah tidak merasa kesulitan lagi dalam masalah keuangan
atau kebutuhan hidupnya karena tugas pokok mereka adalah mengelola
pendidikan, bagi guru yang sudah kawin hendaknya mempunyai kondisi
sosial ekonomi yang sudah mapan sehingga mampu mendidik keluarganya
dengan baik. Seorang guru yang susah, begitu juga seorang guru yang
miskin akan mendapat kesan yang kurang baik di tengah-tengah masyarakat.
Tugas guru dapat disimpulkan mempunyai 3 tugas pokok, yaitu: (1)
tugas dalam bidang profesi yang meliputi mendidik, mengajar dan melatih.
Tugas guru dalam hal ini dituntut untuk selalu mengembangkan
profesionalitas diri sesuai dengan perkembangan IPTEK, (2) tugas dalam
bidang kemanusiaan, memposisikan dirinya sebagai orang tua kedua (Usman:
2002: 7), (3) tugas dalam bidang kemasyarakatan dalam hal ini
pembelajaran seperti dikutip Usman dari Adfams dan Decey dalam “Basic Principles of Student”
meliputi: (a) guru sebagai demonstrator, (b) sebagai pengelola kelas,
(c) sebagai mediator dan fasilitator, (d) sebagai evaluator. Sedangkan
menurut Djamarah (2000: 44) meliputi: (a) sebagai inspirator, (b)
sebagai informatory, (c) sebagai organisator, (d) sebagai motivator, (e)
sebagai inisiator, (f) sebagai pembimbing, (g) sebagai uswah (teladan
atau model), (h) sebagai penasihat.
Kompetensi: kepribadian
Kompetensi secara bahasa diartikan kemampuan atau kecakapan. Hal ini
diilhami dari KKBI dimana kompetensi diartikan sebagai wewenang atau
kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan suatu hal. Sedangkan menurut
Partanto (1994), dalam Kamus Ilmiah Populer, kompetensi diartikan
sebagai kecakapan, wewenang, kekuasaan dan kemampuan. Sedangkan secara
terminologis, sebagai berikut:
Menurut Broke dan Stone, gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti.
- Mc Leod dalam Usman (2001), keadaan berwenang atau memenuhi syarat menuntut ketentuan hukum.
- Jhonson, perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang diprasyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
- Pengertia lain diartikan sebagai kemampuan dasar yang mengaflikasikan apa yang seharusnya dapat dilaksanakan oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
- Menunjuk pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
- Hitami dan Sahrodi (2004), pemilikan nilai, silap dan keterampilan yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
- McAshan dalam Mulyasa (2003: 38) sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.
- Finch dan Crunkilton (1979: 222) merupakan penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.
- Kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.
Aspek kompetensi menurut Gordon dalm Mulyasa (2003: 39):
- Pengetahuan
- Pemahaman
- Kemampuan
- Nilai
- Sikap
- Minat
Jenis kompetensi, meliputi diantaranya: (a) kompetensi personal, (b)
kompetensi professional, (c) kompetensi meliputi (a) terampil
berkomunikasi dengan orang lain (b) bersikap simpatik terhadap siswa dan
masyarakat (c) dapat bekerjasama dengan orang lain, (d) pandai bergaul.
Kompetensi personal, yaitu sikap pribadi guru yang dijiwai oleh agama
dan filasafat pancasila yang akan mengagungkan moral dan budaya. Dan
ini mencakup kemampuan dan integritas pribadi, peka terhadap perubahan
dan pembaharuan, berfikir alternatif, adil, jujur, obyektif, disiplin,
ulet, tekun, simpatik, menarik, luwes, terbuka, kreatif dan berwibawa.
Kompetensi personal bisa diidentikkan dengan kepribadian dan kepribadian
yang baik akan berpengaruh terhadap hidup dan kebiasaan belajar para
siswa. Untuk memiliki kepribadian yang baik ini guru dituntut memiliki
kematangan dan kedewasaan pribadi serta jasmani dan rohani, dan cirinya
adalah sebagai berikut: (1) memiliki pedoman hidup, (2) mampu melihat
segala sesuatu secara obyektif, (3) mampu bertanggung jawab.
Ciri guru yang profesional dikutip dalam Jurnal Educational
Leadership (1998): (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses
belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan pelajaran yang
diajarkannya serta metode pelajaran yang relevan, (3) bertanggung jawab
dalam memantau hasil belajar melalui berbagai cara evaluasi, (14) mampu
merpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari
pengalamannya, (5) guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat
belajar dalam lingkungan profesinya.
Yang mempengaruhi rendahnya profesionalisme guru, menurut Akadum
(1999) (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara
total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma etika
profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan
masih setengah, dll.
Jihad oleh Muhaimin (2003: 230-231) diartikan sebagai makna kesediaan
bekerja keras dengan mencurahkan segala kemampuan, baik fisik/materi
maupun totalitas dirinya menuju jalan Allah, mempunyai sikap ketelitian
dan kecermatan, serta terbuka terhadap kritik dari luar, mempunyai
kebanggaan terhadap pekerjaan yang bermutu (bukan asal kerja) dan
mempunyai wawasan jangka panjang (harapan masa depan).
Mengenai kesejahteraan guru menurut Komball Wiles (dalam Bafadal,
2003: 101-102), ada 8 hal yang diinginkan guru melalui kerjanya: (1)
adanya rasa aman dan hidup layak, (2) kondisi kerja yang menyenangkan,
(3) rasa diikutsertakan, (4) perlakuan yang wajar dan jujur, (5) rasa
mampu, (6) pengakuan dan penghargaan atas sumbangan, (7) ikut ambil
bagian dalam pembuatan kebijakan sekolah, (8) kesempatan mengembangkan self respect.
Pembahasan diatas semakin mempertajam adanya keterkaitan yang kuat
antara kompetensi dan kepribadian guru. Keduanya secara bersamaan
mencoba untuk merealisasikan profil guru ideal dari berbagai sudut
pandang baik personal, sosial dan akademik.
Kepribadian guru dalam perspektif historis.
- Profil guru di masa dulu
Secara singkat telah dijelaskan di atas bahwa profesi guru di masa
dulu merupakan profesi idaman, dimana semua orang ingin menjadi guru,
kalau toh tidak berhasil sekedar bermantukan seorang guru saja pun sudah bangga.
Kebanggaan yang mendarah daging di masa lalu ini merupakan sesuatu
yang menarik untuk dikaji, ada apa dengan guru sehingga menjadi profesi
yang sangat diminati? Padahal kalau dilihat secara kasat mata, dari
kesejahteraan sangat jauh dari kurang, namun demikian mereka selalu
mendapatkan tempat tertinggi dalam tatanan masyarakat pada waktu itu.
Guru benar-benar diposisikan dan dihargai.
Bila bukan dari aspek kesejahteraan, pastilah ada aspek yang sangat
fenomenal dalam profesi guru iru sendiri. Sosok Ki Hajar Dewantara
merupakan sosok yang mewakili profil guru di masa lalu. Artinya, bila
ingin mengetahui secara detail tentang profil guru di masa lalu, maka
amatilah kepribadian beliau. Sosok guru sebagai pahlawan tanpa tanda
jasa benar-benar dapat diamati, tak ada batasan waktu, tempat dalam
mengajarkan ilmu dan yang paling penting mereka betul-betul ideal model. Apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan sejalan yang secara tidak langsung menimbulkan kewibawaan sejati dalam diri beliau.
Kepribadian semacam inilah yang kemudian menjadikan murid-murid
beliau termotivasi untuk menjadi guru sekaliber Ki Hajar Dewantara. Ini
sesuai dengan statement yang mengatakan bahwa pribadi guru itu
besar sekali pengaruhnya terhadap keberhasilan darma baktinya dan guna
berpengaruh pada muridnya.
Namun demikian harus juga dipahami juga bahwa bukan hanya kepribadian
saja yang menentukan keberhasilan tugasnya sebagai guru tetapi juga
harus dilengkapi dengan ilmu khusus, kebudayaan tertentu dan persiapan
pelayanan yang teratur.
Artinya bisa dikatakan profil guru di masa lalu adalah profil guru
ideal, dimana mereka mumpuni dan matang dalam aspek kepribadian,
keilmuan dan perilaku yang semua itu kemudian dilengkapi dengan semangat
pengabdian atau menurut Muhaimin identik dengan semangat jihad. Jihat
boleh diartikan sebagai makna bekerja keras (dengan mencurahkan segala
kemampuan, baik fisik/materi maupun totalitas dirinya) menuju jalan
Allah, mempunyai sikap ketelitian dan kecermatan, serta terbuka kritik
dari luar, mempunyai kebanggaan terhadap pekerjaan yang bermutu (bukan
asal kerja) dan mempunyai wawasan jangka panjang (harapan masa depan).
Secara lebih dalam, profil guru masa lalu bisa diamati dalam sajak berikut ini:
Siapa guru bangsa ini?
Anda dan saya!
Yang berarti kita. Semua tak terkecuali
Termasuk pak Lurah adalah guru bangsa ini ketika
Dengan senyum membuatkan KTP bagi si Bejo
Tanpa rasa pamrih. Juga pak Darmo yang sopir bus
Adalah guru bangsa ini ketika mempersilahkan
Kendaraan lain yang mau menyalip untuk mendahului.
Demikian pak Budi yang pengusaha adalah guru bangsa ini
Ketika membuang limbah tanpa merusak lingkungan.
Tak terkecuali pak Edi, pejabat yang senantiasa
Lebih dulu memberi salam selamat pagi kepada
Bawahannya, dia adalah guru bangsa ini.
Atau si Udin, adalah guru bangsa ini ketika membuat sumur
Tidak pernah menipu soal kedalaman sumurnya.
Mereka semua adalah guru bagi bangsanya.
Termasuk anda dan saya.
Kalau bukan kita siapa lagi yang mau membimbing
Negeri ini agar lebih baik dan lebih maju.
Perlukah kita mendatangkan guru-guru dari negara lain?
Relakah kalau kita digurui oleh bangsa-bangsa lain?
Atau maukah kita terus-terusan menjadi murid bagi bangsa ini?
Kita semua wajib menjadi guru bagi kemajuan bangsa ini. (dikutip dari Tilaar, 1999:333)
- Profil guru di masa kini dan akan datang.
Kemerosotan profesi guru baik di dalam minat pemuda kita untuk
memasukinya maupun oleh masyrakat yang kurang memberi perhatian atau
penghargaan terhadap profesi guru menunjukkan adanya keharusan untuk
mencari paradigma baru supaya profesi guru memenuhi tuntutan masyarakat
baru dalam milenium ketiga. Perlu disadar bahwa fungsi dan peranan guru
bisa berubah tapi profesi akan tetap selalu dibutuhkan.
Sebelum menganaslisa tentang profil atau kepribadian guru masa kini
dan akan datang maka perlu diketahui karakteristik masyarakat yang
dihadapi yang notabene merupakan konsumen atau pengguna jasa pendidikan.
Menurut Tilaar (1999: 281), ada 3 karaktristik masyarakat masa kini dan
akan datang (= masyarakat milenium 21), yaitu:
- Masyarakat teknologi, dimana kemajuan teknologi sangat berkembang pesat sehingga membuat dunia menjadi satu, sekat-sekat yang membatasi bangsa-bangsa, pribadi-pribadi menjadi hilang sehingga bentuk-bentuk komunikasi umat manusia akan berubah.
- Masyarakat terbuka, pada jenis ini dibutuhkan manusia yang mampu mengembangkan kemampuan dan yang mampu berkreasi untuk peningkatan mutu kehidupannya serta sekaligus mutu kehidupan bangsa dan masyarakatnya.
- Masyarakat madani, yaitu masyarakat yang saling menghargai satu dengan yang lain, yang mengakui akan hak-hak manusia yang menghormati akan prestasi dari para anggotanya sesuai dengan kemampuan yang dapat ditunjukkannya bagi masyarakat.
- Deskripsi profil guru masa kini.
Untuk memahami posisi guru masa kini, dapat dipahami dari sajak-sajak berikut:
Sejuta batu nisan
Guru tua yang terlupakan sejarah
Terbaca torehan darah kering
Disini berbaring seorang guru
Semampu membaca buku usang
Sambil belajar menahan lapar (Kompas, 26 Desember 2006).
Dari puisi diatas dapat dipahami ada 3 pesan global yang disampaikan Winarno, yaitu:
- Adanya kecenderungan profesi guru terlupakan. Senada dengan ini, Tilaar juga mengatakan bahwa profesi guru diambang kematian karena bukan saja tidak diminati putra bangsa yang terbaik juga masyarakat sendiri tidak memberikan penghargaan yang wajar terhadap profesi guru. (Tilaar: 1999: 285). Padahal untuk mengatasi itu semua diperlukan suatu penghargaan masyarakat, karena suatu profesi akan hidup dan berkembang apabila tersebut dihargai oleh masyarakat. Dan ini ditunjukkan dengan adanya keinginan masyarakat untuk memilihprofesi guru sebagai unggulan.(Tilaar: 1999: 291)
- Kemampuan finansial yang amat memprihatinkan. Tilaar dalam hal ini mengatakan bahwa imbalan ekonomis dalam sektor modern lebih besar daripada profesi yang tua seperti guru dan petani.
- Pentingnya mengembalikan guru sebagai profesi suci, mengingat banyak guru yang terjangkiti perilaku instan dan praktis.
Setelah kita melihat profesi guru Indonesia dewasa ini tentunya tidak
dapat kita harapkan masyarakat kita dapat dibawa untuk memasuki
masyarakat abad 21 yang kompetitif. Masyarakat kompetitif yang dikuasai
oleh ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi khususnya teknologi
komunikasi. Untuk itu profil guru yang dibutuhkan adalah:
- Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang (mature and developing personality)
- Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat, hal ini diilhami dari surat Az-Zumar ayat 9: ”Katakanlah apakah sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui? Bahwasannya yang dapat mengambil pelajaran itu adalah orang yang mempunyai akal.” Dan juga surat Ash-Shaf ayat 2-3: “Hai orang-orang yang beriman mengapa kau mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian Allah karena kau mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat.”
- Keterampilan membangkitkan minat peserta didik.
- Pengembangan profesi yang berkesinambungan.
C. Analisis
Uraian diatas menjelaskan secara kongkrit bagaimana meningkatkan
popularitas profesi guru di masa kini dan akan datang. Bila
diklasifikasikan, maka penjelasan diatas hanya berkutat atau ditekankan
pada aspek, (1) performansi (penampilan luar) seorang guru, (2)
akademik, dimana guru dituntut untuk selalu belajar dfan meneliti, (3)
kesejahteraan guru. Ketiga hal diatas tidak balance sehingga yang terjadi protes akan rendahnya gaji yang diterima seorang guru sehingga harus ngompreng sana ngompreng sini.
Dari klasifikasi diatas, maka dapat langsung dikatakan bagaimana
sebenarnya profil guru kita ini. Namun demikian, kesalahan tidak
terletak pada guru sebagai person, tetapi semua itu telah termasukkan dalam sistem yang sangat kuat sehingga diperlukan kontinuitas untuk memperbaikinya.
Dari pembahasan tentang profesi guru diatas, penekanan yang
diperjuangkan hanyalah pada masalah materiil sehingga sangatlah wajar
bila kemudian salah satu pengajar UIN Jakarta dalam Swara Cendekia
mengatakan bahwa sistem pendidikan kita sudah termatrialisasikan,
artinya semuanya harus ada pelicin. Dan ini berimbas pada guru, dimana
kita jumpai sangat minimnya jiwa pengabdian yang ada dalam diri guru,
apalagi yang berada di perkotaan.
Selain minimnya semangat pengabdian=jihad, minim pula sifat qona’ah
seorang guru sehingga terjadilah malapraktik pendidikan, baik dengan
menjual nilai, nggompreng buku atau sampai jualan narrkoba. Hal tersebut
juga menunjukkan bahwa guru kita miskin kreativitas atau kurang lincah
dalam menangkap peluang yang ada.
Sehingga kita tidak menyalahkan jika ada statement bahwa
pekerjaan guru itu berat untuk itu dibutuhkan komitment tinggi untuk
melakoninya. Artinya jika profesi guru sudah menjadi pilihan kita, maka
pastilah sudah disadari sejak awal bagaimana plus-minusnya
profesi guru. Jika ini disadari secara mendalam, maka tidak akan ada
protes sampai turun ke jalan hanya untuk sekedar untuk memperjuangkan
hak, padahal bila ditanyakan ulang sudahkah seorang guru melakukan
kewajiban, karena notabene hak bisa diambil bila sudah melakukan
kewajiban, baik kewajiban mengajar atau mendidik. Ini juga pernah
dilakukan Socrates, dimana ia menolak gaji (Hasan: 1998: 187).
Menyikapi hal ini, hendaklah kita melakukan apa yang dikatakan Maslow
sebelum hidupnya berakhir dengan mengatakan, ini senada dengan piramid
Maslow yang telah dibalik, karena diakhir hidupnya Maslow mengatakan Every
one should self actualize as a first priority then for themselves
people will be valued by others, loved by others, feel secure and
survive. Bila dianalogikan, maka setidaknya guru harus melakukan
sesuatu terlebih dahulu untuk dapat dihargai (mis, baik itu dengan
mengajar dengan maksimal). Bila ini sudah dilakukan maka secara
otomatis, masyarakat ataupun pemerintah tanpa diminta pun akan menaikkan
kesejahteraan guru.
Masalah pengertian kepribadian guru dari waktu ke waktu dapat diperjelas dari tabel berikut ini:
NO |
DULU |
KINI, AKAN DATANG |
1. | Tanpa pamrih | No pamrih no service |
2. | Komitmen tinggi | Komitmen angin-anginan |
3. | Istiqomah | Istiqomahnya tergantung |
4. | Qona’ah | Kurang Qona’ah |
Keterangan:
Bila mau dikomparasikan, maka ke-3 hal diatas adalah profil guru di
masa dulu dengan guru di masa kini dan akan datang. Dan bila dipahami
lebih lanjut, perbedaan terletak pada ruh pendidikan itu sendiri.
Artinya pendidikan yang notabene lapangan pengabdian, seorang guru
menggunakan paradigma yang berbeda. Bila dahulu paradigma yang digunakan
adalah amal jariyah ansich. ini semua termotivasi dari hadits nabi tentang 3 amalan kekal yang salah satunya adalah amal jariyah, serta hikmah arab:
Sedangkan paradigma guru masa kini dan masa akan datang (merupakan
prediksi, artinya bisa terjadi dan tidak), berpatokan pada mencari
rejeki sebanyak-banyaknya. Karena rejeki yang dicari maka bila
mendapatkan rejeki kecil akan kebingungan dan mencari obyekan lain.
Protes gaji dan demo-demo lainmerupakan akibat logis dari paradigma yang
digunakan tersebut.
Selain itu bila seseorang telah memilih menjadi guru maka ia akan
terjun total dalam bidang yang telah dipilihya sehingga perilaku, ucapan
dan tindakan selalu disesuaikan dengan profesi yang telah dipilihnya.
Sedangkan saat ini statemen ibarat guru kencing berdiri, maka murud
kencing berlari merupakan dampak kurang diaplikasikannya ruh guru oleh
guru tersebut. Misalnya, betapa banyak guru melarang rokok muridnya
namun ia sendiri merokok dan masih banyak lagi yang lainnya.
Untuk masa kini dan masa akan datang dimana keadaan dunia dan zamat
sangat global, terjangkitnya paradigma materialis dan hedinisme maka
yang paling membedakan antara guru dulu dengan sekarang dan mungkin masa
yang akan datang adalah sifat qona’ah yang dimiliki oleh
seorang guru. Ada fenomena guru dulu tidak mau menerima gaji (Arabiah
Baina Yadaik, h,103), dan keadaan ini tidak merata. Memang kita masih
menjumpai guru yang bersifat qona’ah plus jiwa pengabdian yang
tinggi namun itu hanya bisa dijumpai di daerah-daerah pedalaman dan
hampir bisa dipastikan mereka menyadari komitmen sebagai seorang guru.
Sedangkan di daerah kebanyakan, adalah sebaliknya.
D. Tawaran solusi
Melihat fenomena kepribadian guruyang kian hari kian bergeser dan
melemah, maka diperlukan usaha untuk dapat memperbaiki keadaan ini yang
nantinya secara tidak langsung akan mendongkrak profesi guru itu
sendiri. Diantara yang dapat kita tawarkan di sini adalah:
1. mempertebal sifat qona’ah
Guru di masa kini dan masa akan datang haruslah memahami betul agar dapat bersikap qona’ah,
bersikap menerima tapi bukan pasif keadaan yang bangsa yang sulit ini
bukanlah harus ditangisi, tapi dijadikan tantangan untuk dapat
mengeksplorasi kreativitas guru. Hal ini sudah terjadi di sektor
kehidupan yang lainnya seperti ekonomi. Naiknya harga BBM malah
menjadikan seseorang lebih kreatif untuk membuat kompor yang berbahan
bakar rendah ekonomis. Guru sendiri juga bisa bila mau, misalnya
bagaimana seorang guru bertindak seminim mungkin namun tetap tujuan
pembelajaran tercapai. Artinya mengajar jangan hanya dimaknai sebagai
pelajaran yang melelahkan, namun enjoy. Partisipasi guru dalam
kegiatan penelitian (dalam hal ini penelitian tindakan kelas) seharusnya
dijadikan salah satu cara untuk dapar meningkatkan ekonomi guru. Itupun
kalau jeli melihat peluang seperti yang dilakukan oleh guru Bahasa
Indonesia MTsN Malang I.
2. mempertebal komitmen
Ketika seseorang memilih profesi guru, maka saat itu juga harus
disadari bahwa guru adalah pekerjaan mengabdi bukan lahan bisnis. Bila
ini disadari secara total maka akan tercipta sosok guru yang sangat qona’ah
berkomitmen tinggi. Untuk merealisasikan hal ini maka diperlukan
seleksi yang ketat dalam penerimaan mahasiswa keguruan dan penyeleksian
di saat akan mengabdikan ilmunya dalam lapangan pendidikan.
Komentar:
Ada beberapa hal yang sebaiknya kita bahas lebih lanjut, diantaranya adalah:
- Profesi guru yang sudah tidak lagi mendapat tempat di masyarakat, yang salah satunya disebabkan rendahnya kemampuan ekonomi guru di Indonesia pada masa ini dan rendahnya kompetensi guru saat ini.
- Kompetensi guru yang dimaksud adalah kepribadian guru.
- Perbandingan guru di masa lalu dengan guru di masa ini dan akan datang. Yang penulis menyatakan bahwa guru di masa dulu lebih baik dari pada guru di masa ini dan akan datang.
- Tawaran solusi bagi guru dengan memperdalam sifat qona’ah dan mempertebal komitmen.
Hal-hal diatas menimbulkan beberapa pertanyaan, diantaranya:
- Siapakah sebenarnya guru itu?
- Benarkah profesi guru sudah tidak mendapat tempat di masyarakat kita saat ini?
- Kalau benar, apakah penyebabnya?
- Sudah cukupkah solusi-solusi diatas?
Di dalam tulisan singkat ini kami akan mencoba membahas lebih dalam mengenai hal-hal diatas.
a. Siapakah sebenarnya guru itu?
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai orang
yg pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Dalam hal
ini berarti guru itu adalah orang yang melakukan tindakan mengajar
sebagai pekerjaannya, dengan kata lain dia mengajar dan mendapat imbalan
dari kegiatan mengajar tersebut. Dengan demikian seorang pengajar yang
tidak mendapat imbalan dari kegiatan mengajarnya tidak dinamakan guru.
Sehingga ustadz-ustadz di pondok-pondok pesantren, kiai-kiai di
kampung-kampung yang mengajar anak-anak kecil membaca Al-Quran tanpa
imbalan bukanlah dinamakan seorang guru atau seorang artis yang
mengajarkan gaya hidup kepada masyarakat dengan metode yang berbeda, itu
juga bukanlah guru yang dimaksud.
Tetapi hal ini berbeda dengan pernyataan Ali R.A yang termasuk
sahabat Nabi SAW yang menyatakan bahwa orang yang mengajari kamu sesuatu
walaupun hanya satu huruf hijaiyah (huruf di dalam bahasa arab) itu adalah guru kamu. Sehingga di dalam pengertian ini, maka ustadz-ustadz, kiai-kiai adalah seorang guru.
Dengan demikian yang dimaksud guru di dalam tulisan diatas adalah tepatnya guru formal.
b. Benarkah profesi guru sudah tidak mendapat tempat dalam masyarakat dan apakah penyebabnya?
Kalau kita mengacu pada pengertian guru adalah profesi, maka hal ini
memang benar. Bahwa profesi guru sudah bukan lagi profesi yang sakral.
Hal ini bisa dilihat dari bagaimana masyarakat menempatkan seorang guru
di dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan selain faktor
kepribadian guru itu sendiri seperti yang telah diuraikan di dalam
tulisan diatas, juga disebabkan oleh posisi sekolah sebagai institusi
guru formal di tengah-tengah masyarakat.
Posisi sekolah di tengah-tengah masyarakat saat ini sangatlah berbeda
dengan posisi lembaga pendidikan lain di masa Hindu-Buddha dan masa
pendidikan Islam. Dan ini sangat dipengaruhi oleh sistem yang berlaku.
Dari sini ada baiknya kita ketahui dulu bagaimana sistem pendidikan pada
saat itu. Uraian tentang sejarah di bawah ini kami kutip dari artikel
berjudul ” Sedikit Uraian Sejarah Pendidikan Indonesia” dalam situs: http://tinulad.wordpress.com.
Pada masa Hindu-Buddha
Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan
Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem
pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah
tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang
mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri
dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan
dan mandala.
Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang
mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam
menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya
adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan.
Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu
besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini
dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas.
Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang
bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan
demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang
saja.
Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan.
Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat
segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang
diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga
pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya
untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh
dewaguru.
Pada masa Islam
Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu-Buddha kemudian
berlanjut pada masa Islam. Bisa dikatakan sistem pendidikan pada masa
Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan
Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang telah mengenal istilah
uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan
yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada
dalam satu lingkungan permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962,
IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada masa Islam sistem pendidikan
itu disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal
dari kata funduq (funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani yang berarti
tempat menginap).
Bentuk lainnya adalah, tentang pemilihan lokasi pesantren yang
jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh dari permukiman penduduk,
jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar. Beberapa pesantren dibangun di atas bukit atau lereng gunung Muria, Jawa Tengah. Pesantern
Giri yang terletak di atas sebuah bukit yang bernama Giri, dekat Gersik
Jawa Timur (Tjandrasasmita, 1984—187). Pemilihan lokasi tersebut telah
mencontoh ”gunung keramat” sebagai tempat didirikannya karsyan dan
mandala yang telah ada pada masa sebelumnya (De Graaf & Pigeaud,
1985: 187).
Seperti halnya mandala, pada masa Islam istilah tersebut lebih
dikenal dengan sebutan ”depok”, istilah tersebut menjadi nama sebuah
kawasan yang khas di kota-kota Islam, seperti Yogyakarta, Cirebon dan
Banten. Istilah depok itu sendiri berasal dari kata padepokan yang
berasal dari kata patapan yang merujuk pada arti yang sama, yaitu
“tempat pendidikan. Dengan demikian padepokan atau pesantren adalah
sebuah sistem pendidikan yang merupakan kelanjutan sistem pendidikan
sebelumnya.
Dari sini kita ketahui bahwa kedua sistem lama tersebut sama-sama
memposisikan lembaga pendidikan di tempat yang tinggi. Sehingga
masyarakatpun memandang lembaga pendidikan pada masa itu dengan
pandangan yang berbeda. Dan sistem tersebut bisa dikatakan berhasil,
bisa kita lihat sekarang bahwa Islam adalah agama terbesar di Indonesia
yang hal itu merupakan hasil dari sistem yang diterapkan wali Songo di dalam dakwahnya.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi sekarang. Sebagaimana kita
ketahui bahwa kita mengadopsi sistem pendidikan dari barat yang dibawa
oleh Belanda. Dan pada perkembangannya sistem tersebut telah berubah
sedemikian rupa seperti saat ini. Perbedaan yang paling mencolok salah
satunya adalah posisi sekolah di tengah masyarakat. Dimana sekarang ada
yang dinamakan pendidikan formal yaitu sekolah, yang mana sekolah ini
bukan lagi tempat sakral tempat dididiknya seseorang, tetapi sekolah
lebih berarti tempat disampaikannya ilmu dari guru ke murid. sehingga
sekolah sekarang terkesan hanya sekedar “formalitas” belaka.
Memang sekarangpun masih ada pondok pesantren yang merupakan warisan
dari sistem lama. Tetapi tanpa ada legalisasi (mis: ijazah pondok
pesantren setara dengan ijazah SMU) dan dukungan sepenuhnya dari
pemerintah, maka semakin lama lembaga ini akan terkikis atau bahkan
punah dari bumi Indonesia.
Dampak langsung terhadap profesi guru adalah pada pertanyaan siapakah
guru itu? Kalau di masa Hindu-Buddha dan Islam guru adalah orang suci
dengan segala kompetensi yang dimiliki, maka sekarang guru itu adalah
orang yang bekerja secara formal dan mendapatkan gaji dari pekerjaan
tersebut. Sehingga orientasi keduanya sudah jauh berbeda.
Kalau tulisan oleh Isti’anah Abubakar diatas menyatakan bahwa profesi
guru tidak lagi digemari karena faktor ekonomi, maka hal itu benar
sekali dan itu adalah konskuensi logis dari sistem yang diberlakukan di
Indonesia saat ini.
Kesimpulanya beberapa faktor yang menjadikan profesi guru tidak lagi digemari masyarakat saat ini,
- Rendahnya kompetensi guru di Indonesia sesuai dengan pemaparan dalam tulisan Isti’anah Abubakar.
- Penerapan formalisasi sistem pendidikan Indonesia.
Pada dasarnya kami setuju dengan solusi yang ditawarkan Isti’anah
Abubakar diatas, tetapi kami ingin menambahkan sedikit yaitu perlunya
sistem yang mendukung seorang guru untuk melakukan sifat-sifat qona’ah dan
tebalnya komitmen. Dan sistem tersebut untuk saat ini yang paling
realistis adalah dukungan total terhadap pondok-pondok pesantren.
Dukungan tersebut bisa berupa penggalian atas khazanah-khazanah sistem
pendidikan di pondok pesantren terlebih lagi pondok pesantren salaf yang
keberadaannya sudah seperti lembaga pendidikan asing yang tidak
menjanjikan apa-apa.
Sedikit tambahan bahwa ustadz-ustadz pondok pesantren sampai saat ini masih mendapatkan posisi yang tinggi di dalam masyarakat. Lebih khusus lagi ustadz-ustadz pondok pesantren salaf.
Sumber
- Jurnal “El-Harakah” Vol V, Universitas Islam Negeri Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar