BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat
di semua bangsa, menempatkan anak-anak sebagai tumpuan harapan bagi
masa depan. Sekolah merupakan institusi pembelajaran dimana anak-anak
akan diperkenalkan dengan nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama,
pengetahuan-pengetahuan tradisional-modern, tanpa terkecuali
pengetahuan-pengetahuan tentang masalah kebencanaan.
Di
beberapa negara seperti Meksiko, Rumania, dan Selandia Baru, pengenalan
tentang bencana diintegrasikan ke dalam materi-materi pelajaran.
Demikian juga di Brasil, Venezuela, Kuba dan Jepang, dimana pengenalan
tentang bencana dan risiko-risikonya sudah dilakukan sejak di sekolah
dasar. Dengan bekal pengetahuan tentang bencana dan risikonya anak-anak
di semua tingkat pendidikan memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi
bencana.
Sekolah
(sebagai lembaga pendidikan), memiliki amanat untuk mengembangkannya
secara integratif dan tidak terbatasi oleh nilai-nilai yang terkandung
dalam mata pelajaran saja; melainkan lebih dari itu adalah sebagai
esensi-esensi nilai budaya/kebudayaan secara utuh yang berakar di
masyarakat. Budaya/kebudayaan harus diterapkan dalam konteks yang lebih
luas untuk pengembangan akal budi dan sikap perilaku manusia lewat
pembelajaran. Sekolah yang sengaja dilembagakan dan diperan-fungsikan
untuk mengembang kan potensi anak didiknya sebagai individu yang datang
dari keluarga dan lingkungan masyarakat (baca: yang telah memiliki
aspek-aspek kehidupan dan perilaku serta kesadaran untuk secara bersama
dalam satu budaya, yakni sikap, nilai moral, keyakinan, dsb.), maka
sekolah memiliki multiperan, yakni : berperan sebagai subtitusi keluarga
dan orang tua, subtitusi masyarakat juga subtitusi bangsa dan
pemerintah.
Mari kita “memutar mundur” (flashback),
Masihkah ingat “Wawasan Wiyata Mandala” ?. Konsep ini memang lebih
ditujukan kepada satuan pendidikan jenjang sekolah dasar, namun secara
filosofis konsep “Wawasan Wiyata Mandala” memiliki relevansi untuk
digunakan pada jenajng yang lebih tinggi ataupun pendidikan usia dini.
Konsep ini dibangun untuk menjadikan sekolah sebagai pusat kebudayaan,
sekolah tidak hanya memprogramkan, mengajarkan, mengarahkan, mebimbing,
serta mengembangkan kemampuan intelektual, tetapi lebih dari itu; yakni
pengembangan seluruh aspek dan potensi pribadi anak, sehingga anak tidak
menjadi kering.
Menyikapi persoalan ini, kembali H.A.R. Tilaar,
mengungkapkan: “Pada masa Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan konsep
Wawasan Wiyata Mandala. Di dalam konsep tersebut sekolah dianggap
sebagai suatu pusat kebudayaan. Artinya program pendidikan di sekolah
bukan hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi juga pengembangan
seluruh aspek kepribadian anak. Demikian pula sekolah tidak terasing
dari kehidupan masyarakatnya tetapi merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat.
Banyak
kasus yang terjadi di sekolah; seperti kekerasan fissik maupun
psikologis yang dilakukan oleh guru kepada siswanya, kasus siswa
melakukan kekerasan terhadap guru, kausus kekerasan antar siswa baik
fisik maupun nirfisik, dan atau tidak harmonisnya hubungan antar sejawat
serta hubungan atas-bawah (pimpinan sekolah dengan guru atau tenaga
kependidikan lainnya). Kasus lainnya adalah menurunnya rasa saling
hormat, menghargai, santun baik antara siswa sebaya maupun terhadap
kakak kelasnya, terhadap guru dan anggota komunitas sekolah lainnya
serta implikasinya terhadap anggota keluarga dan warga masyarakat,
bangsa dan lingkungannya. Apa yang kiranya harus dilakukan dan ditata
ulang manakala kasus-kasus tersebut benar adanya dan bahkan mungkin
lebih dari itu, sebab ini menjadi sebuah gambaran bahwa betapa rawannya
ketahan sekolah (kalupun ini berangkat secara kasuitis). Adalah suatu
keniscayaan manakala tata kehidupan sosial di sekolah tidak mulai dikaji
ulang dan ditata ulang; yang salahsatunya melalui pengembangan tata
krama sebagai upaya membangun ketahan sekolah.
B. Sekolah Sebagai Representasi Pembentukan Moral
Sekolah,
dikembangkan dengan filosofi, visi, misi, strategi; sehingga menjelma
sebagai sosok yang dapat dipercaya untuk membantu anak-anak bangsa ini
tumbuhkembang sesuai potensi dirinya dan sesuai dengan harapan
orangtua/keluarga, harapan dirinya, harapan masyarakat dan harapan
bangsa dan negara. Oleh karena itulah maka mengembangkan sekolah harus
berbasis kepada pandangan hidup yang dijunjung, berbasis spiritualitas,
berbasis kemasyarakatan, berbasis kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni, berbasis perkembangan anak, serta berbasis pada tata aturan
dan kaidah-kaidah pendidikan (paedagogik maupun andragogik). Ketika
sejumlah harapan tersebut harus tercapai, artinya harus dilakukan upaya
pengkajian dan sinergitas, kolegialitas, sehingga sekolah akan menjadi
kuat mengusung tugas fungsi dan perannya.
Dengan demikian sebenarnya model pendidikan yang dianjurkan dewasa ini, pendidikan dari dan oleh masyarakat (Community-base education) sebenarnya
telah terangkum dengan wawasan Wiyata Mandala. Sayang sekali
pelaksanaan konsep ini hanya terbatas pada tingkat konseptual saja. ….
Jiwa dari Wawasan Wiyata Mandala mati di tengah jalan. Akibatnya ialah
pendidikan terasing dari masyarakat, dan selanjutnya pendidikan terlepas
dari kebudayaan” (2000 : 222).
A.
Malik Fajar, sebagai Mendiknas pada saat itu (2004), mengingatkan pada
awal pidato Pencananngan Gerakan Anti Narkoba di Sekolah : “Tidak bisa
dipungkiri lagi bahwa suatu bangsa dan negara yang kuat sangat
tergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Hanya generasi yang
aktif, kreatif, cerdas, memiliki kepribadian, berakhlak mulia dan
memiliki keimanan yang kuat yang mampu menangkal segala pengaruh negatif
yang datang dari manapun”.
Dan lebih lanjut beliau mengingatkan : “…
kita khususnya para kepala sekolah dan guru serta kalangan pendidik
menyadari akan fungsi lembaga pendidikan. … Lembaga pendidikan memiliki
peran strategis dalam mengarahkan dan menciptakan iklim yang kondusif
untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan bagi terbentuknya manusia
Indonesia yang berakhlak mulia dan berkepribadian yang tangguh”
(Jakarta, 2 Agustus 2004). Artinya, sekolah menjadi “refresentasi” untuk
membangun ketahanan dan pengembangan budaya (baca: manakala kita
bersepakat) bahwa budaya seperti yang diurai para pakar di atas dan
ditegaskan oleh pengambil kebijakan di akhir bahasan. Persoalannya
adalah, bagaimana sekolah dibijaki oleh sebuah piranti yang dapat
dikembangkan secara operasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penggunaan Sekolah
Pemahaman
dasar dan tentunya sangat mendasar dari masyarakat (awam/pada umumnya),
bahwa sekolah selain membekali kompetensi akademik (pintar), adalah
mendidik, membelajarkan anak-anak bangsa ini untuk memiliki norma dan
tata nilai sesuai dengan tata laku lingkungannya, budaya bangsa dan
agamanya. Oleh karena itu sekolah berkewajiban untuk mengembangkan
bentuk perwujudan perilaku (manifested behaviour) yang sesuai dengan norma dan tata nilai, selain yang hanya dapat dipersepsikan (perceived behaviour). Artinya sekolah sebagai lembaga yang memiliki komunitas dan berwujud sebagai masyarakat berbentuk kecil (small community)
dipandang penting untuk mengembangkan tata krama dan/atau tata laku
dalam kehidupan sekolah dan dilakukan secara nyata dalam kehidupan
sehari-hari di sekolah; sehingga dapat berdampak terhadap kehidupan
anak-anak di dalam keluarga (rumah), masyarakat, dan kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Departemen
Pendidikan Nasional (2001), Manajemen Peningkatan Mutu berbasis Sekolah
Buku 4 mengenai Tatakrama dan Tata tertib Kehidupan Sosial sekolah bagi
SLTP, mengungkapkan pada latar belakangnya bahwa : ”Dunia pendidikan
kita dewasa ini menghadapi berbagai masalah yang amat kompleks yang
perlu mendapatkan perhatian kita semua. Salah satu masalah tersebut
adalah menurunnya tatakrama kehidupansosial dan etika moral dalam
praktik kehidupan sekolah yang mengakibatkan sejumlah ekses negatif yang
amat merisaukan masyarakat. Ekses tersebut antara lain semakin maraknya
penyimpangan berbagai norma kehidupan agama dan sosial kemasyarakatan
yang terwujud dalam bentuk : kurang hormat terhadap guru dan pegawai
sekolah, kurang disiplin terhadap waktu dan tidak mengindahkan
peraturan, kurang memelihara keindahan dan kebersihan lingkungan,
perkelahian antar pelajar, penggunaan obat terlarang dan lain-lainnya”.
Hal ini adalah ancaman dan tidak dapat dibiarkan dan tentunya harus
segera diatasi agar tidak terus mengancam anak-anak bangsa dan tatanan
sosial, agama, negara dan bangsa. Sekolah adalah garda ketahanan nilai
moral, sopan santun, aturan dan kaidah yang dapat memberikan sumbangan
terhadap ketahan diri anak, ketahanan keluarga, masyarakat, dan bangsa
ini. Oleh karena itu mengembangkan tatakrama dan tata laku kehidupan
sosial sekolah menjadi penting.
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang diperuntukan sebagai tempat proses kegiatan belajar mengajar, tidak diperbolehkan dijadikan sebagai tempat :
- Ajang promosi /penjualan produk-produk perniagaan yang tidak berhubungan dengan pendidikan.
- Sekolah merupakan lingkungan bebas rokok bagi semua pihak.
- Penyebaran aliran sesat atau penyebarluasan aliran agama tertentu yang bertentangan dengan undang-undang.
- Propaganda politik/kampanye.
- Shooting film dan atau sinetron tanpa seijin Pemerintah Daerah.
- Kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan, perpecahan, dan perselisihan, sehingga menjadikan suasana sekolah tidak kondusif.
B. Penataan Wiyata Mandala dalam Upaya Ketahanan Sekolah
- Ketahanan sekolah lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang bersifat preventif. Upaya represif dilakukan apabila upaya-upaya lain sekolah tidak memungkinkan.
- Untuk menjadikan sekolah sesuai dengan tujuan dan fungsinya, perlu dilakukan penataan Wiyata Mandala di sekolah melalui langkah-langkah :
- Meningkatkan koordinasi dan konsolidasai sesama warga sekolah untuk dapat mencegah sedini mungkin adanya kegiatan dan tindakan yang dapat mengganggu proses belajar mengajar.
- Melaksanakan tata tertib sekolah secara konsisten dan berkelanjutan.
- Melakukan koordinasi dengan Komite sekolah dan pihak keamanan setempat untuk terselenggaranya ketahanan sekolah.
- Mengadakan penyuluhan bagi orangtua dan siswa yang bermasalah
- Mengadakan penyuluhan dan pembinanan kesadaran hukum bagi siswa.
- Pembinaan dan pengembangan keimanan, ketaqwaan, etika bermoral Pancasila, kepribadian sopan santun dan berdisiplin.
- Pengembangan logika para siswa, rajin belajar, gairah menulis, gemar membaca/ informasi/penemuan para ahli.
- Mengikutsertakan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler dan pengembangan diri.
- Mengadakan karya wisata dalam rangka pengembangan iptek.
C. Tugas, Wewenang Dan Tanggungjawab Kepala Sekolah dalam Hal Pelaksanaan Wiyata Mandala
Kepala
Sekolah sebagai pimpinan utama, bertugas dan bertanggung jawab memimpin
penyelenggaraan belajar mengajar serta membina pendidik dan tenaga
kependidikan serta membina hubungan kerja sama dan peran serta
masyarakat.
Kepala Sekolah dalam melaksanakan penataan Wiyata Mandala di sekolah, dengan melakukan kegiatan-kegiatan :
- Melaksanakan program-program yang telah disusun bersama Komite Sekolah.
- Menyelenggarakan musyawarah sekolah yang melibatkan pendidik, OSIS, Komite Sekolah, tokoh masyarakat serta pihak keamanan setempat.
- Menertibkan lingkungan sekolah baik yang berbentuk perangkat keras (sarana prasarana) dan perangkat lunak (peraturan-peraturan, tata tertib, tata upacara dan lain lain).
- Mengadakan pertemuan baik rutin maupun insidentil yang bersifat intern sekolah (kepala sekolah, pendidik, orangtua siswa, siswa).
- Menyelenggarakan kegiatan yang dapat menunjang ketahanan sekolah seperti PKS, Pramuka, PMR, Paskibraka, kesenian dan sebagainya.
D. Mekanisme Pelaksanaan Wiyata Mandala dalam Rangka Ketahanan Sekolah Oleh Guru dan Unsur Sekolah
Dalam
rangka pelaksanaan Wiyata Mandala perlu upaya penang-gulangan secara
dini setiap permasalahan yang timbul sehingga dapat menghilangkan dampak
negatifnya, yaitu dilaksanakan secara terpadu, bertahap dan berlanjut
sebagai berikut :
- Tahap Preventif
Upaya untuk meniadakan peluang-peluang yang dapat memungkinkan terjadinya kasus-kasus negatif di sekolah, melalui antara lain :
- Memelihara sekolah, dan lingkungan sekolah serta menciptakan kebersihan dan ketertiban agar siswa merasa nyaman dan menyenangkan dan tidak ada tempat tertentu yang dijadikan siswa untuk hal-hal negatif.
- Menciptakan suasana yang harmonis antara pihak pendidik/staf dan siswa serta penduduk di sekitar sekolah.
- Membentuk jaring-jaring pengawasan/kontrol dan razia terhadap kegiatan siswa di lingkungan sekolah.
- Menghilangkan bentuk-bentuk perpeloncoan pada saat MOS.
- Meminimalisir keterlibatan kelompok maupun perorangan dalam kegiatan sekolah.
- Mengisi jam-jam kosong dengan pelajaran atau kegiatan ekstra lainnya.
- Meningkatkan kegiatan ekstra kurikuler pada masa awal/akhir semester dan masa liburan sekolah.
- Peningkatan keamanan dan ketertiban khususnya pada saat berangkat/ usai sekolah.
- Tahap Represif
Upaya untuk menindak siswa yang telah melanggar peraturan-peraturan dan tata tertib sekolah.
Upaya Represif seperti :
- Mendamaikan para pihak yang terlibat perselisihan berikut orangtua/pendidik pembinanya.
- Membatasi areal tempat terjadinya aksi.
- Menetralisir isu-isu yang berkembang dan mencegah timbulnya isu-isu baru.
- Berkoordinasi dengan pihak keamanan apabila terdapat pihak luar sekolah yang melanggar keamanan, ketertiban dan perbuatan kriminalitas di lingkungan sekolah.
- Mengungkap lebih lanjut keterlibatan pihak luar sekolah atas kasus yang timbul dan menyelesaikan secara hukum.
- Mengikutsertakan para ahli untuk mengadakan bimbingan dan penyuluhan.
- Memberikan sanksi sesuai tata tertib yang berlaku.
E. Pera Guru dalam Upaya Ketahanan Sekolah
Guru
adalah setatus sosial yang disandang oleh seseorang yang dalam
kesehariannya hidup dalam masyarakat yang tidak berbeda dengan yang
dihadapi oleh masyarakat pada umumnya dan sasaran didik pada khussusnya;
tidak mustahil menghadpi, mengalami dan menjalani tekanan-tekanan dalam
komplesitas kehidupan di masyarakatnya dengan berbagai sebab yang
melatarbelakanginya; dan bukan tidak mungkin berakibat dan menjadikan
kekecewaan. Ketika itu terjadi, kekecewaan yang dialaminya akan
berpotensi mempengaruhi suasana hati, sosioemosional dan kinerjanya.
Persoalan-persoalan
ini kiranya sangat penting untuk dipahami oleh para pemangku
kepentingan seperti Kepala Dinas Pendidikan (pada berbagai tingkatan),
Pengurus Yayasan, Pembina Pendidikan (Pengawas, Supervisor), Kepala
Sekolah, maupun Anggota Komite Sekolah, orangtua dan masyarakat
untuk segera mengambil langkah strategis dan penuh kearifan melalui
upaya-upaya yang diperkirakan dapat mencegah perilaku menyimpang serta
berakibat patal dan merugikan semua pihak. Rapat sekolah selain menjadi
agenda rutin membahas persoalan administrif dan akademik, kiranya dapat
dijadikan ajang silaturrahim, komumnikasi, tausiyah, dan musabah seputar
masalah anggota komunitas baik pribadi maupun yang menyangkut persoalan
kinerja. Pertemuan sekolah seperti ini dapat dikembangkan dan dikemas
menjadi forum ilmiah untuk membahas isu-isu actual, esensial, dan
krusial bagi guru dan komunitas sekolah. Sebagai contoh, adalah isu
kekerasan dalam pembelajaran dan/atau isu kekerasan di sekolah, seperti
kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, siswa terhadap guru,
kepala sekolah terhadap guru dan tenaga kependidikan, siswa terhadap
siswa, tawuran siswa dengan siswa sekolah lain, serta bentuk-bentuk
pelecehan lain). Selain itu kekerasan yang terjadi dalam pembelajaran
baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal; adalah isu yang sangat
hangat, karena maraknya informasi yang dapat dibaca, didengar, dan
dilihat oleh masyarakat, bahkan menjadi keresahan yang mendalam bagi
orang tua, masyarakat, bahkan pemerintah.
Isu
kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh guru terhadap siswa dan atau
sebaliknya, atau kekerasan antar siswa (tawuran siswa) atau kekerasan
dalam bentuk pelecehan sudah cukup banyak kita lihat, dengar, saksikan
atau diantara kita ada yang mengalami secara langsung. Kasus kekerasan
di sekolah baik fisik maupun verbal. Kasus anak SD gantung diri karena
dicemooh temannya atau dikeluarkan dari kelas sebab tidak memakai
seragam sekolah, guru menghukum siswa dengan kata-kata yang kotor,
merendahkan, karena siswa tidak dapat menjawab pertanyaan guru. Selain
itu ada guru yang menjewer kuping atau memukul siswanya karena tidak
patuh pada aturan dan/atau tidak patuh pada keinginan guru, atau siswa
tertentu yang cenderung mengedepankan kekuasaannya karena status sosial
orang tuanya lebih tinggi dari siswa lainya atau lebih tinggi
kedudukannya dari gurunya, dsb.), praktek pelecehan seksual oleh guru
terhadap siswa; adalah contoh kasus kekerasan yang kerap terjadi di
sekolah. Kasus-kasus seperti ini tentu memerlukan perhatian yang cukup
mendalam, serius, mulai dari kajian konseptual, penelitian empiris di
lapangan sehingga dapat dicarikan solusi guna mengeliminasi
tindakan-tindakan kekerasan tersebut.
Mengembangkan
budaya sekolah melalui atmosfir pembelajaran yang lebih kondusif; aman ,
nyaman, dan menyenangkan dapat menumbuhkembangkan anak-anak dengan baik
dan menjadi produk pendidikan yang bermanfaat untuk membangun bangsa
ini dari keterpurukan dan ketertinggalan dari sisi intelektualitas,
moralitas, dan spiritualnya. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru
terhadap siswa, baik fisik maupun verbal seringkali berdalih atas nama
memberikan ajaran (funishment); karena apa yang dilakukan oleh siswa
tidak sesuai dengan kaidah atau tata krama, namun tidak disadari bahwa
tindakan yang dilakukan guru pun mengakibatkan kerugian dan atau bahaya
terhadap fisik dan atau psikologis siswa. Oleh karena itu, kiranya
sangat penting untuk memahami tentang apa yang dimaksud dengan
kekerasann itu.
Kekerasan
dimaknai sebagai perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau
bahaya secara fisik, psikologis, atau financial, baik yang dialami
individu maupun kelompok (Barker dalam Huraerah (2006) dari The Social Work Dictionary).
Sedangkan kekerasan menurut Jack Dauglas dan Frances Chault Waksler
(dalam Arif Rachman), istilah ini digunakan untuk menggambarkan
perilaku, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert) dan baik
yang bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang
disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Jakarta 2006).
Mencermati definisi diatas, manakala hal tersebut terjadi dalam peraktik
pendidikan di sekolah; adalah sebuah keniscayaan yang menapikan
kaidah-kaidah paedagogik yang sangat normative dalam memandu bagaimana
sebuah pendidikan dan pembelajaran harus dilakukan oleh guru, hal ini
seperti dikemukakan oleh Nana Syaodih (2004), “… proses pendidikan di
sekolah terjadi interaksi pendidikan dan pengajaran antara pendidik
(kepala sekolah, guru, konselor, dan tenaga pendidik lain) dengan
peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Interaksi
pendidikan berfungsi membantu pengembangan seluruh potensi, kecakapan
dan karakteristik peserta didik. Peranan pendidik lebih besar, karena
kedudukannya sebagai orang yang lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih
banyak menguasai nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan”.
Persoalannya adalah, ketika kaidah-kaidah pendidikan harus dijunjung,
praktek kekerasan baik yang terbuka ataupun yang tertutup, fisik maupun
verbal masih sering terjadi di sekolah. Mengapa ?. Arif Rachman (2006),
mengemukakan bahwa “hal-hal yang mengakibatkan kekerasan itu adalah : 1)
kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang
disertai dengan hukuman, terutama fisik, 2) kekerasan dalam pendidikan
dapat diakibatkan oleh buruknya system dan kebijakan pendidikan yang
berlaku, 3) kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan
masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian
vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan, 4) kekerasan bisa
merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami
pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant
solution maupun jalan pintas, 5) kekersan dipengaruhi oleh latar
belakang sosial ekonomi pelaku”.
Apapun
alasannya, kekerasan disekolah (dalam pendidikan) merupakan tindakan
yang tidak dibenarkan baik oleh kaidah pendidikan, norma sekolah dan
hukum positif yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sebagai bahan
pemahaman (umum) tentang bentuk-bentuk seperti apa yang dikatagorikan
sebagai kekerasan kepada anak (child abuse), Suharto (dalam Huraerah 2006), menghklasifikasikan kepada empat bentuk yaitu : pertama, kekerasan fisik, kedua kekerasan psikologis, ketiga kekersan seksual, dan keempat kekerasan sosial. Kekerasan fisik berbentuk
penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa
menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau
kematian kepada anak. Kekerasan psikologis meliputi bentuk penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film porno pada anak. Kekerasan seksual dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). Kekerasan sosial, mencakup
penelantaran anak , yaitu sikap dan perlakuan orangtua yang tidak
memberikan perhatian layak terhadap proses tumbuhkembang anak, dan
eksploitasi anak.
Bentuk
kekerasan seperti diuraikan di atas secara implementatif dapat
dikembangkan dalam praktek pendidikan (pembelajaran) di sekolah; yakni
pimpinan sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan anggota komunitas
sekolah lainnya, diproteksi oleh aturan yang memuat rambu-rambu yang
melarang perbuatan kekerasan terhadap siswa (anak) baik fisik,
psikologis, seksual, maupun social.
Kekerasan
di sekolah (dalam pembelajaran) adalah sebuah keniscayaan yang
menapikan kaidah-kaidah pendidikan serta menapikan kearifan kompetensi
pendidik maupun pimpinan sekolah. Oleh karena itu sikap anti kekerasan
oleh seluruh anggota komunitas di sekolah tanpa kecuali perlu
dikembangkan sebagai bentuk proteksi terhadap anak-anak bangsa ini. Arif
Rachman, mengemukakan tentang bagaimana seharusnya yang dilakukan oleh
sekolah ?; ia berpendapat bahwa sekolah perlu menciptakan suatu
“kultur”. Kultur sekolah penting karena : 1) merupakan nyawa dari
sekolah yang dapat menciptakan suasana pendidikan yang hidup dan akan
membantu tercapainya cita-cita, visi dan misi sekolah, 2) tanpa kultur
sekolah maka sekolah akan menjadi lembaga pengajaran yang bukan lembaga
pendidikan. Hal lainnya, bahwa kultur sekolah dapai dikembangkan dan
dicapai dengan cara : 1) pemahaman seluruh anggota sekolah terhadap
kultur tersebut, 2) struktur organisasi sekolah yang mendukung. 3)
manajemen sekolah yang sesuai dengan kultur tersebut, 4) kegiatan intra,
ekstra dan co kurikuler yang bervariasi, dan 5) sember daya yang ada di
sekolah diberdayakan secara optimal. Sebagai bahan acuan normatif ,
kiranya seluruh anggota komunitas sekolah (pimpinan, pendidik dan tenaga
kependidikan, serta anggota komunitas sekolah lainnya penting memahami
hak-hak anak dan penghapusan kekerasan bagi anak yang dilindungi oleh
undang-undang. Pada klaosul menimbang (UURI N0. 23 Tahun 2002)
dinyatakan : Bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang maha Esa,
yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia sutuhnya.
Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peranan strategis dan mempunyai cirri dan
sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara
pada masa depan. Bahwa setiap anak agar kelak mampu memikul
tanggungjawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempayan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik,
mental maupun sosial dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perilaku tanpa
diskriminasi.
Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat peerlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi (Ps. 1 Ayat (1 dan 2 UURI 23/2002), dan
semua ini dalam rangka mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera. Perlindungan terhadap anak salah satunya
adalah hak mendapat perlindungan dalam pendidikan. Pada pasal 49
(undang-undang yang sama) menegaskan bahwa Negara, pemerintah, keluarga
dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
anak untuk memperoleh pendidikan. Sedang pasal 50-nya menyebutkan bahwa
pendidikan yang dimaksud diarahkan pada :
a. Pengembangan
sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik
sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
b. Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan atas hak asasi dan kebebsan asasi;
c. Pengembangan
rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan
nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat
tinggal, dari mana anak berasal dan peradaban-peradaban yang
berbeda-beda dari peradaban sendirinya;
d. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggungjaawab; dan
e. Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.
Inilah
rambu-rambu hukum yang kiranya dapat menjadi bahan pemahaman dan
memprotek diri untuk memberikan perlindungan terhadap siswa dan
anak-anak bangsa dan memprotek diri untuk tidak melakukan tindakan
kekerasan, baik fisik, psikologis, seksual, maupun sosial. Namun
demikian pada undang-undang ini juga dinyatakan mengenai kewajiban anak
(pasal 19); yaitu setiap anak berkewajiban untuk :
a. Menghormati orang tua, wali, dan guru
b. Menghormati keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. Mencintai tanah air, bangsa dan negara;
d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
- Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
BAB III
PENUTUP
A. Saran
Menjalani
kehidupan pada era global seperti sekarang ini menjadi begitu kompleks.
Kompleksitasnya mungkin diakibatkan oleh berbagai dinamika yang
terjadi, seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong
individu harus berkompetisi, ketimpangan sosial ekonomi di masyarakat
yang berdampak terhadap semakin besarnya angka kemiskinan (dalam rentang
angka 15 –20% dari jumlah penduduk). Keadaan ini berpotensi terhadap
“konflik peran” dan dapat mendorong perilaku-perilaku yang tidak
normatif karena penuh kekecewaan dan keputusasaan. Kondisi seperti ini
bukan tidak mungkin berpengaruh terhadap perilaku anak, dan sangat
mungkin terekspresikan oleh anak pada saat mereka berada di lingkungan
sekolah, lingkungan pergaulan teman sebaya, dan lingkungan pembelajaran
dengan menunjukkan perilaku yang menyimpang dari skenario yang dirancang
guru atau sekolah. Kondisi ini tentunya harus segera dianalisis lebih
telik, komprehensif dan penuh kearifan agar anak dapat melakukan
aktivitasnya dengan baik, aman dan nyaman sesuai dengan kaidah
pembelajaran. Kompleksitas kehidupan yang paradoksal seringkali
berdampak terhadap pola hidup masyarakat dalam menyikapinya.
Inspirasi
yang cukup menarik dalam upaya membangun ketahanan sekolah adalah
melalui upaya membelajarkan nilai bagi sasaran didik agar menjadi
anak-anak bangsa yang kuat berbasis nilai moral dalam menjalankan hidup
dan kehidupannya. Sebuah buku berjudul Mengajarkan Nilai-nilai Kepada
Anak, karya Linda dan Richard Gyre (Alih bahasa oleh Alex Tri K.W.) yang
diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta tahun 1997 (menjadi
rujukan utama pada sebagaian bahasan bab ini), adalah sebuah buku yang
sangat relevan dengan substansi yang dibahas yakni tentang ”Membangun
Ketahanan Sekolah”. Kesesuaian ini dimaksudkan bahwa nilai yang
ditanamkan kepada anak merupakan pondasi dan ”garda” dalam membangun
ketahanan diri anak dan ketahanan sekolah. Linda adalah guru dan musisi
handal dan dinobatkan sebagai salah seorang wanita muda Amerika yang
berprestasi oleh National Council of Women; sedangkan Richard Gyre,
adalah Konsultan Manajemen, dan Ia adalah Direktur White House
Conference on Children and Parents. Kedua orang ini adalah pembawa acara
di Radio dan TV untuk kemasan program untuk membantu orangtua agar
lebih baik mendidik anaknya. Tutur kunci pada sinopsis buku ini
mengungkap kearifan yaitu : ” Salah satu hadiah terbaik yang dapat Anda
berikan kepada anak Anda adalah kesadaran yang tinggi akan nilai-nilai”.
Mendidik
anak mengembangkan nilai seperti kejujuran, kesetiaan, dan disiplin
diri sama pentingnya dengan mengajari mereka membaca atau menyebrangi
jalan dengan aman. Nilai-nilai yang diajarkan kepada anak merupakan alat
terbaik untuk melindungi mereka dari penmgaruh teman sebaya dan godaan
budaya asing yang tidak relevan dan tidak dikenal oleh anak. Memberikan
pendidikan tentang nilai diarahkan agar anak-anak dapat memilih, memilah
dan membuat keputusan sendiri dan bukan meniru teman-temannya atau
karena takut ketinggalan jaman.
B. Kesimpulan
Membangun
ketahan sekolah tentunya tidak berarti membuat barikade besi dan kawat
berduri di depan sekolah, tetapi sekolah sebagai lembaga pendidikan,
sebagai subtitusi orang tua, masyarakat, bahkan Negara dan bangsa;
sejatinya harus memelihara dan menumbuh kembangkan sifat dasar,
filosofi, visi, dan misi, tujuan dan peranfungsungsinya, sehingga
kesakralan sekolah sebagai lembaga penddikan yang dipercaya dapat
membantu menumbuhkembangkan potensi anak-anak bangsa sesuai potensinya
dan sesuai dengan harapan orangtua, masyarakat serta Negara dan bangsa
ini. Membangun ketahanan sekolah merupakan upaya yang komprehensip dan
seimbang antara pendidkan mental intelektual, sosioemosional,
ekonomikal, spiritual dan kultural; sehingga anak-anak bangsa ini tidak
hanya dididik menjadi manusia yang pinter dan terampil tetapi juga
dididik untuk menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur, memiliki nilai
moral, spiritual, berbudaya dan berkeadaban; sehingga anak-anak bangsa
ini memiliki ketahanan logika, etika dan estetika.
Menyimak
hal di atas, membangun dan mengembangkan ketahan sekolah akan menjadi
penting, kerena bentuk kontijensi seperti diuarai di atas, erat terkait
dengan sejauh mana anak-anak kita (baca: siswa/mahasiswa) bahkan
masyarakat luas memahami, memiliki ketahanan dan menjunjung tinggi
nilai-nilai moral dan budaya, norma intelektual, emosional, social,
spiritual, dsb. Hal ini tentu akan terpulang kepada kita yang bergerak
sebagai pelaku pendidikan untuk terus berupaya dengan suatu komitmen
membangun ketahan dan mengembangan budaya di lembaga pendidikan kita
melalui kaidah paedagogik, profesionalitas, didaktik-metodologik,
andragogik serta kearifan local yang lekat dengan masyarakatnya; seperti
kata Carl Rogers, “Freedom to Learn for the 80’s” (baca: dalam
Eleanor Fienberg dan Walter Fienberg: 2003) : “Ketika saya mulai
mempercayai mahasiswa … saya berubah dari seorang guru dan evaluator
menjadi fasilitator dalam proses belajar”.
Membangun
dan mengembangkan Ketahan Sekolah”, jika dikaitkan dengan persoalan
“kontinjensi” yang begitu sering kita dengar, baca, lihat langsung
ataupun dari tayangan televisi; rasanya teramat miris, bahkan terkadang
menjadi takut. Namun nuansa qalbu mendorong keinginan memberi tanggung
jawab moral (baca: paling tidak mewasiati diri) sebagai orang tua (dari
anak-anak), sebagai guru, pelaku pendidikan, sebagai warga bangsa untuk
turut menumbuhkembangkan anak-anak bangsa ini menjadi generasi yang
sehat fisiknya, pikirnya, emosinya, spiritualnya, serta perilakunya;
sehingga kelak menjadi manusia yang “kaffah” dan memiliki ketahanan diri mengahadapi dunia yang terus berubah pesat dengan segala dinamikanya. Amin……
DAFTAR PUSTAKA
- Al Qur’an
- Al Hadits
- Adi Tjahjono (2004), Stop Selamatkan Moral Bangsa, Citra Pendidikan Indonesia (CPI), Jakarta.
- A. Malik Fajar (2004), Kumpulan Pidato Mendiknas, Depdiknas, Jakarta
- Depdiknas, UURI No. 20 th. 2003, tentang : Sisdiknas, Jakarta. Depdiknas, PPRI No 19 Th. 2005, tentang : Standar Nasional Pendidikan, Jakarta Depdiknas (2001), Manajeman Peningkatan Mutu Berbasis sekolah, Jakarta.
- Depdiknas (2002), Manajemen Peningkatan Mutu berbasis sekolah, Buku 4 tentang Pedoman Tatakrama dan tata Tertib Kehidupan Sosial Sekolah Bagi SLTP, Jakarta.
- Supriadie, Didi (2009), Membangun Ketahanan Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
- H.A.R. Tilaar (2000), Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta. H.M. Ridwan Ibrahim Lubis (2003), Pembinaan Akhlaq Al-Quran Untuk Anak Remaja, Islamic Village, Tangerang.
- Linda dan Ricahad Gyre (1997), Mengajarkan Nilai-Nilai Kepada Anak (Alih Bahasa oleh : Alex Tri, K.W.), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
- Soedijarto (2000), Pendidikan Nasional Sebagai Wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, CINAP,
- Syaukani (2002), Titik Temu Dalam Dunia Pendidikan, Nuansa Madani, Jakarta.
- http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar