Program Wajib Belajar Pendidikan Menengah 12 Tahun
Dasar hukum kebijakan nasional wajib belajar adalah sebagai berikut:
1. Amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat (1) yang berbunyi bahwa, “Setiap
warga Negara berhak mendapat pendidikan”,
2.Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 9 bahwa “Setiap
anak (usia di bawah 18 tahun ) berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya”.
3.Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 68 dan 69 bahwa
“Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (termasuk di dalamnya Para
lulusan SD/MI/SMP/MTs)”.
4.Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tanggal 8 Juli 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa:
a. Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (pasal 5 ayat 1).
b.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggarnya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga Negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1).
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.
- Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
- Peraturan Presiden RI Nomor: 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004 – 2009.
- Inpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
- Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar.
Dalam PP tersebut dijelaskan bahwa wajib belajar adalah program
pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga Negara Indonesia atas
tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah (Bab II pasal 1).
Sedangkan fungsi dan tujuannya: (1) Wajib belajar berfungsi mengupayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu
bagi setiap warga Negara Indonesia, (2) Wajib belajar bertujuan
memberikan pendidikan minimal bagi warga Negara Indonnsi untuk dapat
mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di dalam
masyarakat atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Bagi yang melanggar akan dikenai sangsi administrasi. Dalam Penjelasan
PP Nomor 47 tahun 2008 pasal 7 ayat 6 ditegaskan bahwa sangsi
administrasi dalam ketentuan ini dapat berupa tindakan paksa agar
anaknya mengikuti program wajib belajar, penghentian sementara atau
penundaan pelayanan kepemerintahan[1].
Rekomendasi Rembuk Nasional Pendidikan 2008 di Pusdiklat Pegawai
Depdiknas di antaranya yang berkaitan dengan Penuntasan Wajar Dikdas 9
Tahun dan Peningkatan Akses Pendidikan Menengah/Perintisan Wajib Belajar
12 Tahun: (1) Pemberian subsidi yang lebih intensif bagi siswa yang
kurang mampu secara ekonomis. Subsidi tidak hanya mencakup biaya
langsung Pemberian subsidi ini secara proporsional menjadi tanggung
jawab bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota), (2) Penyelenggaraan pendidikan non konvensional
diperluas, meskipun biaya satuannya lebih mahal di banding dengan sistem
pelayanan konvensional, (3) Pemerintah daerah perlu menganggarkan Biaya
Operasional Pendidikan/BOSDA sebagai pendamping Bantuan Operasional
Sekolah (BOS Pusat), (4) Perlu ada program affirmative
untuk mendorong kabupaten/kota yang belum mencapai ketuntasan Wajar
Dikdas 9 tahun agar dapat merintis pelaksanaan wajib belajar 12 tahun,
(5) Membangun sekolah menengah di daerah pemekaran dan perbatasan.[2]
Pelaksanaan wajib belajar selain menjadi hak dan kewajiban orang tua,
juga menjadi hak dan kewajiban masyarakat dalam menyukseskan
pelaksanaannya.[3]
Dan tak kalah pentingnya pelaksanaan wajib belajar menjadi hak dan
kewajiban pemerintah. Demikian halnya peserta didik juga memiliki hak
untuk mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikannya. Secara hakiki wajib belajar pendidikan
dasar sudah menjadi tekad pemerintah. Tekad ini hendaknya tidak hanya
dalam bentuk slogan, wacana, dan sebatas konsep, tetapi harus
diimplementasikan dengan konkret, terutama yang menyangkut penyediaan
dana. Tanpa dana, mana mungkin tujuan penuntasan wajib belajar dapat
terwujud.
Dalam upaya mengembangkan pendidikan, maka menuntaskan masalah
pendidikan dasar (dan menengah) menjadi kewajiban bersama antara
pemerintah dan masyarakat. Agenda prioritas di sini adalah memberikan
kemudahan bagi anak usia sekolah agar tetap bersekolah. Peluang
pembebasan biaya pendidikan pada jenjang ini semakin terbuka melalui
bantuan langsung, blockgrand, serta hibah kependidikan lainnya.
Program wajib belajar pendidikan menengah 12 tahun merupakan batu
pijakan pertama bagi loncatan bangsa Indonesia memasuki era millennium
ketiga dan era globalisasi. Peningkatan mutu SDM pada tingkat
penguasaan pendidikan dasar (dan menengah) merupakan persyaratan minimum
bagi setiap warga Negara Indonesia untuk mengenal peralatan elektronik,
prinsip kerja mesin-mesin produksi dan pertanian, alat-alat rumah
tangga yang diperlukan untuk membangun kehidupan modern dengan
menggunakan teknologi dasar.
Program rekapitalisasi mencakup pemenuhan kebutuhan ruang belajar,
guru, buku pelajaran, dan peralatan penunjang bagi pendidikan
keterampilan, sesuai kondisi sumber daya lingkungan. Program
rekapitalisasi ini berupa penyediaan dasar khusus untuk menuntaskan
Program Wajib Belajar Pendidikan Menengah yang disediakan secara merata,
berdasarkan asas pemerataan (equality) dan keadilan (equity)
untuk semua lembaga pendidikan baik formal atau non-formal yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Sifat bantuan
harus berupa paket subsidi utuh (blockgrant)
perlembaga pendidikan bukan berupa bantuan alat, bahan, atau formasi
pegawai. Jika penuntasan program berhasil, maka tidak menutup
kemungkinan sebagai persyaratan bagi pelaksanaan wajib belajar
pendidikan menengah.[4]
Program rekapitalisasi dalam rangka penuntasan program wajib belajar
pendidikan menengah perlu memberikan prioritas pada kegiatan pokok
berikut: (1) Pendataan kebutuhan perbaikan dan penambahan ruang belajar
unruk menampung anak usia 16-18 tahun terutama di pedesaan terpencil,
berdasarkan data keluarga pra-sejahtera; (2) Pendataan kebutuhan dan
pengadaan guru untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan; (3) pendataan
kebutuhan dan pengadaan buku pelajaran untuk menunjang pembelajaran
(KBM). Hal ini sudah harus mulai dianggarkan dalam APBD masing-masing
daerah melalui anggaran pendidikan dan pos-pos untuk mengentaskan wajib
belajar. Anggaran tersebut mencakup mulai dari pelaksanaan Paket
Belajar, Kejar Cerdas bagi anak marjinal, pembangunan gedung, pemberian
bea siswa siswa yang tidak mampu, mengangkat guru-guru untuk daerah
terpencil, memberikan pendidikan gratis dan biaya lainnya bagi anak-anak
yang kurang mampu. Kiranya program wajib belajar pendidikan menengah
ini dapat terwujud, tidak hanya sebatas wacana. Semua pihak ikut
bertanggung jawab untuk menyukseskannya[5].
[1]
Anonim.UU RI No.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS & PP RI No. 47
tahun 2008 tentang Wajib Belajar.(Bandung: Penerbit Citra Umbara, 2008)
[2] Kabar Diknas edisi 23. Jakarta, 2008
[3] Isjoni. Membangun Visi Bersama – Aspek-aspek penting dalam reformasi pendidikan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 2006
[4] Ibid, hal…..
[5] Ibid Isjoni, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar